Chap # 4

20.4K 2.5K 128
                                    

Keheningan menemani lamunan kala mata terjaga. Aku duduk di tepi ranjang, mengawasi tirai yang menari-nari tersapu hembusan angin. Lima menit sebelumnya, saat terbangun dari mimpi, kepanikan bercampur sisa pusing kemarin malam membuat jantung berdegub kencang. Jam menunjukan pukul sepuluh lebih lima dan mendapati diri masih berleha-leha di tempat tidur adalah kesalahan besar. Dua menit berikutnya setelah pikiran kembali tenang, aku bisa bernapas lega.

Hari ini merupakan hari libur alias bebas melakukan kegiatan yang disukai satu hari penuh. Tidak ada kewajiban kuliah maupun tuntutan pekerjaan. Beberapa hal memang tetap harus dilakukan seperti membereskan rumah. Menyibukan diri sedikit banyak mampu meredakan kerinduan pada keluarga. Mama beberapa kali menelepon, memastikan semua baik-baik saja. Aku meyakinkannya untuk tidak khawatir. Pekerjaanku masih rahasia sampai dirasa menemukan waktu yang tepat atau tetap tutup mulut hingga memutuskan kapan akan berhenti.

Tubuhku menggeliat, menggendorkan otot-otot yang kaku lalu bangkit. Setengah malas-malasan tangan meraih handuk di gantungan baju dan segera membersihkan diri. Rasanya jauh lebih nyaman begitu air dingin membasuh kulit. Kesegaran dan aroma sabun seakan menambah suntikan semangat pada tubuh yang lelah.

Sejumlah rencana berjejal dalam kepala. Aku akan menghabiskan sisa waktu beristirahat, menonton film sambil mengisi perut dengan makanan ringan atau membaca sejumlah novel yang belum sempat dibaca. Senyuman mengulas di wajah hanya dengan membayangannya. Bahagia itu sederhana selama tidak ada gangguan.

Dan memang hingga lewat tengah hari semua tampak tenang. Pesan masuk dari Mama tadi pagi sudah dibalas. Ketiga temanku sepertinya memiliki rencana sendiri hari ini setelah kemarin malam kami menghabiskan waktu bersama. Alvaro bahkan belum dan semoga saja tidak memberi tambahan tugas. Bersantai di rumah lebih menggiurkan daripada uang lembur.

Deringan ponsel di meja ruang tengah memupus harapan menikmati film tanpa gangguan. Meski belum meraih benda itu di meja, tebakan di hati kecil mengerucut pada satu nama. Tanpa semangat kukecilkan volume televisi. Selama beberapa detik aku sengaja mengabaikan panggilan masuk, menunggu deringan yang menjengkelkan itu berhenti tapi semua sia-sia karena tidak ada tanda menyerah.

"Aku sudah bilang tidak ingin diganggu! Cari perempuan lain yang bisa kamu ajak pergi." Semburan kekesalan meluncur bagai lahar panas. Percikan emosi terlanjur menghalau akal sehat, mengabaikan hal penting pertama yang seharusnya dilakukan sebelum menerima panggilan yaitu melihat nomor di layar.

"Saya menganggu waktu kamu, Frey?" Suara di seberang jelas bukan milik Genta. Nada berat dan rendah mengingatkan pada seseorang yang seharusnya tidak boleh disinggung apalagi berani mencari masalah.

"Shit!" ucapku reflek. Tangan menutup mulut menyadari telah melakukan kebodohan yang seharusnya bisa dihindari.

"Kamu bilang apa tadi?" Balasan Alvaro nyaris terdengar wajar tetapi telingaku menangkap sebaliknya.

"Oh, ah maaf, Pak. Saya kira yang menelepon teman saya." Sekuat tenaga aku berupaya tetap tenang walau keringat dingin membasahi jemari. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Dengan cepat topik kualihkan, berdoa agar Alvaro mengabaikan kekurangajaranku.

Alvaro memerintahkan dibelikan sejumlah makanan khas sunda di salah satu restoran di daerah wisata punclut. Letaknya lumayan jauh dari rumahku dan biasanya dipenuhi wisatawan saat weekend. Memikirkan hal itu membuat bibir mengerucut. Aku tidak berani memberi alternatif restoran lain yang menyajikan makanan serupa tetapi di sekitar pusat kota. Dan seperti biasa Alvaro memberi tengat waktu.

"Jangan sampai telat."

"Baik, Pak. Ada tambahan lain?" tanyaku berbasa-basi sebelum mengakhiri pembicaraan.

LIMERENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang