Chap # 5

19.9K 2.6K 176
                                    

Keringat dingin membasahi telapak tangan. Detik berikutnya lupa cara bernapas. Lupa cara berpikir bahkan kesulitan menelan ludah. Semuanya disebabkan satu pertanyaan singkat yang membingungkan.

Genta. Dari sekian banyak orang di dunia, kenapa harus nama lelaki itu yang diungkit?

"Hampir semua orang di fakultas teknik bahkan satu kampus tahu Genta. Dia cukup populer." Setelah mempertimbangkan sejumlah pilihan akhirnya aku menemukan jawaban teraman. Tidak perlu mengatakan seluruh kebenaran kecuali mendesak. "Bapak kenal sama Genta?" Adrenalin  meningkat tajam. Khawatir mendapat kejutan super mengerikan. Jika Alvaro dan Genta sudah lama mengenal apalagi ternyata bersaudara, masalahku akan lebih dari rumit.

"Kebetulan tahun ini perusahaan saya menjalin kerjasama dengan kampusmu. Kami tidak sengaja berkenalan saat sedang bicara dengan salah satu dosen. Saya rasa sepertinya Genta cocok mewakili image jurusanmu. Bagaimana menurutmu?"

Kepalaku mulai berat tapi tetap tersenyum kecil. Semakin lama pertanyaan Alvaro lebih memusingkan  dari ujian ekonomi teknik semester kemarin. "Mewakili kampus untuk acara apa ya, Pak?" Debaran jantung terus menerus bertalu-talu. Dada sesak oleh kecemasan.

Alvaro menjelaskan bahwa dia diundang menjadi salah satu pembicara di acara yang jurusanku adakan. Pada acara tersebut menjadi momen pengukuhan kerjasama perusahaannya dan jurusanku terkait dalam bidang industri makanan. Nanti ada dua mahasiwa yang akan diseleksi dan ditugaskan mendampingi dosen di panggung saat penandatangan kerja sama.

Pak Wisnu, salah satu dosenku  mengenalkan Genta sebagai salah satu calon kandidat. Penampilan dan otaknya dianggap sebagai salah satu yang terbaik  di kampus.

Aku ingin tertawa sekeras mungkin. Secara fisik mungkin Genta bisa lebih unggul tetapi kepintarannya masih diragukan. Selama ini dia piawai bersosialisasi, pintar bicara hingga mudah menarik perhatian orang-orang terutama kaum hawa. Dengan gaya merayu paling lihai dia tidak pernah gagal membujuk. Mereka rela  mengerjakan tugas atau menyalin catatan untuk ujian demi Genta sementara lelaki itu sibuk memamerkan pesonanya  kesana kemari.

Aku bahkan pernah tidak sengaja melihat seorang perempuan memberikan contekan secara cuma-cuma padanya hanya dengan isyarat senyuman saat melewati kelas Genta waktu ujian. Pernah terdengar rumor kalau salah satu teman perempuan di kelas yang otaknya cemerlang rela menjadi guru pribadi untuk Genta selama UAS tahun kemarin tanpa dibayar.

Hal seperti ini sering jadi sumber  pertengkaranku dan Genta. Aku tidak suka cara belajarnya. Dia selalu memaksa memintaku menyiapkan bahan ujian, membantu mengajarinya di minggu terakhir sebelum ujian di mulai tanpa mempertanyakan kesediaanku. Tidak jarang berujung perintahnya  menulis bagian yang penting di kertas kecil untuk contekan.

"Saya setuju saja kalau Bapak mau menjadikan Genta jadi perwakilan kampus." Aku berusaha abai namun tetap menjawab senormal mungkin.

"Bagaimana kalau kamu mendampinginya jadi perwakilan kampus?"

"Ti... tidak, maaf nisaya tidak bisa, Pak." Keterkejutan nyaris membuat isi perut keluar. "Saya jamin ada banyak mahasiswi lain yang lebih cocok."

Alvaro mengubah posisinya menjadi  menghadapku alih-alih menyetujui pendapatku dan pergi ke kamarnya seperti yang biasa dia lakukan. Tangannya menopang dagu sambil mengusap pangkal janggut. Pandangan menyelidiknya sangat menganggu. Seolah penolakanku telah mengusik harga dirinya.

Tubuhku terasa panas dingin. Kegugupan mencengkram hingga hanya bisa pasrah, menunggu detik demi detik menakutkan. Senyumanku berubah kaku dan mulut mendadak kering.

Mengabaikan pandangan Alvaro jelas akan menambah kecurigaan tetapi menghadapinya bukan sesuatu yang mudah terlebih dada seperti dipukuli sangat kencang setiap memberanikan diri membalas tatapannya. "Tapi saya tidak mengenal mereka sebaik kamu. Menurutmu saya salah menilai?"

LIMERENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang