Chap #21

9.6K 1.3K 61
                                    

Remasan jemari Alvaro menyadarkan keterkejutan. Kepala mendongkak dan menemukan alis lelaki itu terangkat diiringi senyum menawan. Aku membalas senyumannya mengabaikan gelisah yang muncul tiba-tiba. Pertemuan tak terduga dengan Genta terlanjur menganggu hari yang cerah.

Dulu sering kali diriku tidak sepaham ketika bersama teman-teman Genta terutama teman perempuannya. Mereka menunjukan wajah sebenarnya saat aku sendirian. Sebutan atau sindiran tak enak didengar terlontar tanpa memikirkan perasaanku. Kalimat bernada penghinaan kuanggap angin lalu. Berpura-pura saat itu jalan paling aman dan membalas setiap ketidaksukaan hanya dalam hati. Masa bodoh dibilang pengecut. Aku tidak ingin menambah masalah saat mengerti sifat Genta semakin lama semakin melelahkan. Mungkin mereka berpikir bisa membuat mentalku terpuruk. Tidak kupungkiri kalau sikap menyebalkan mereka memang terganggu tetapi tetap saja dunia tidak lantas kiamat. Bahkan nilai-nilaiku justru semakin bagus sejak putus dengan Genta.

Rumor buruk tentangku biasanya dihembuskan orang-orang di sekitar Genta. Soal matrealistis dan asas manfaat paling sering terdengar. Sangat mudah mengetahui siapa dibalik semua, mengingat sebelumnya reputasiku terbilang bersih. Kehidupanku biasa saja layaknya mahasiswa yang sibuk dengan jadwal kuliah dan tumpukan tugas. Kabar tentangku tidak jauh dari pencapaian akademik, mahasiswa kutu buku dan hal biasa lainnya. Walau pernah disukai beberapa senior tapi tidak pernah sampai timbul berita miring. Hanya setelah pacaran dengan Genta kenyamananku terusik. Rumor itu akhirnya hilang sendiri mengingat kenyataannya sejak awal kuliah hingga detik ini gaya hidup atau kepribadianku tidak berubah.

Tujuanku tetap fokus pada masa depan. Keuangan yang tidak stabil memaksa mata terbuka lebar akan realita.

Sementara itu citra positif Genta berhasil mengaburkan keburukan hingga ia terlihat bak pangeran sempurna di mata penggemarnya. Meski begitu tidak sedikit yang mulai menyadari sisi lain dari Genta, bahwa lelaki itu bersembunyi dibalik topeng demi menarik simpati. Hanya saja mereka memilih diam dan tidak ingin membiarkan nama mereka terseret mengingat pengaruh keluarga Genta.

Sikap pasifku membuat Mia cukup salut sekaligus jengkel terlebih di awal putus banyak sekali gangguan dari teman-teman Genta. Perhatian mereka teralihkan dariku saat bermasalah dengan beberapa senior. Kabar yang beredar teman-teman Genta ketahuan mengomel dan menjelek-jelekan senior yang jadi asisten dosen waktu praktikum.

Apakah mereka berubah? Tidak sepenuhnya. Lebih tepatnya lebih hati-hati agar tidak ketahuan.

Pada akhirnya ketidakpedulian berbuah manis. Suara sumbang menghilang tanpa perlu melewati drama panjang. Meski keberadaan teman-teman Genta di sekitar kampus seperti duri dalam daging, kehidupanku berjalan normal.

"Genta sama teman-temannya ada di sini. Aku harus gimana?"

"Kamu takut?" Suara Alvaro begitu tenang, terlalu tenang malah.

Kepalaku menggeleng. Takut? Satu-satunya yang kutakutkan keberadaan mereka menghancurkan hari yang cerah. "Aku cuma kaget. Aneh saja lihat Gentadi sini. Biasanya Genta selalu menolak keras sewaktu dulu aku minta ditemani ke tempat ini."

"Mungkin sekarang ia punya alasan khusus."

"Mungkin." Bahuku terangkat sambil melirik Nenek Euis yang sedang bicara dengan penjual kain dan mengabaikan jarak kami yang lumayan jauh. "Mereka kemari."

"Masih ada waktu kalau kamu ingin menunda. Aku tidak keberatan menunggu sedikit lebih lama. Kita bisa cari alasan yang masuk akal."

Aku tahu yang Alvaro maksud dengan kata menunda. "Biarkan saja. Cepat atau lambat mereka akan tahu. Sudah waktunya berhenti berlari. Mereka bisa bergosip sesukanya. Tidak ada yang bisa kulakukan soal itu. Yang jelas aku juga berhak menikmati pilihan hidup."

LIMERENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang