Chap # 8

22.1K 2.6K 208
                                    

Waktu berjalan begitu cepat. Tidak terasa jam sudah melewati angka dua belas. Lima menit telah berlalu sejak aku dan Mia meninggalkan ruang kelas. Dia menarik pergelanganku dengan tak sabar. Langkahku memang terasa berat sepanjang koridor karena peristiwa semalam. Konsentrasi berantakan sejak jam kuliah pertama. Aku harus berjuang mati-matian terjaga selama mata kuliah berlangsung karena baru bisa tertidur lewat tengah malam.

Otakku sekusut pita kaset rusak. Rencana membersihkan ruangan sebelum Nenek Euis atau Alvaro sarapan gagal total. Alarm ternyata rusak. Begitu juga pengingat waktu di handphone yang lupa tidak di set sebelum tidur. Alhasih diriku bangun terlambat bahkan hampir terlambat ke kampus.

Nenek Euis dan Alvaro tidak banyak bicara saat kutemui di ruang makan. Entah karena kasihan melihat lingkar hitam di bawah mata dengan penampilan jauh dari kata menarik atau mereka berusaha menahan kejengkelan karena aku lalai menjalankan tugas.

Aku menguap sambil mengusap leher sementara Mia setengah menyeretku menuju lobi. Susana ramai seperti biasa. Sejumlah mahasiswa berkerumun di beberapa sudut. Sebagian asyik mengobrol tapi tidak sedikit terlihat sibuk mengerjakan tugas sambil duduk di lantai. Kantin terlihat sama ramainya dari kejauhan. Tempat itu memang selalu penuh menjelang makan siang. Aku lebih memilih mengisi perut di warung belakang kampus, letaknya tidak jauh dari deretan tempat fotocopy dan rental komputer andai Genta berada di kantin.

"Kayaknya aku bakal absen kuliah siang nanti." Yang kubutuhkan sekarang adalah ranjang yang nyaman. Tertidur selama mata kuliah berlangsung merupakan bencana. Lebih memalukan lagi kalau sampai ditegur dosen.

"Begadang lagi? Bukannya kamu sudah biasa tidur larut malam?" Mia melepas genggamannya. Dia menekan bahuku agar duduk di kursi kayu yang kebetulan baru saja ditinggalkan sekelompok mahasiswa.

"Ya tapi sekarang tubuhku lagi kurang sehat." Aku terpaksa berbohong. Terkadang keingintahuan Mia terlalu berlebihan. Selama ini rahasiaku memang aman di tangannya. Dia tidak pernah membocorkan curahan hatiku meski kami sedang bertengkar. Tapi belakangan ini dia tertarik mendengar ceritaku tentang Alvaro seperti wartawan gossip. Kehadiran Nenek Euis akan membuatku terjebak pertanyaan-pertanyaannya.

"Belajar atau 'belajar'?" Seringai liciknya muncul.

Kusandarkan tubuh ke belakang, berharap ada keajaiban yang bisa merubah kursi yang ini menjadi kursi pijat. "Jangan berbelat-belit."

"Maksudku Alvaro. Aku jarang melihatmu kelelahan begini sebelum kamu kerja sama dia. Apa dia membantumu mengajarimu sesuatu?

"Mengajari apa? 'Begituan'?" Jariku menjentik kening Mia. Imajinasinya sering kali membuatku geleng kepala. "Dosaku memang banyak tapi yang benar saja, one night stand?

Mia mengusap keningnya. Bibirnya mengerucut tak puas. "Siapa yang menuduhmu one night stand sama Alvaro. Mengajari, kan artinya luas. Siapa tahu dia mengajarimu mengerjakan tugas atau berbagi cerita pengalaman dia selama jadi pengusaha. Alvaro mau buat pabrik makanan, kan?"

"Kenapa tidak tanya saja sama orangnya," gerutuku sambil kembali menguap.

Senyuman geli mia menghilang. Kepalanya di miringkan ke arah belakangku. Dia tidak menyukai siapa atau apapun yang dilihatnya. Reaksi Mia memancing rasa penasaran hingga wajahku berpaling menuju sumber ketidaksukaannya.

Genta. Lelaki itu berjalan bersama dua orang perempuan. Ketiganya berpisah di depan gedung labolatorium saat Genta memberi isyarat pada kedua perempuan tadi sebelum beranjak mendekati kami.

Kepercayaan diri Genta memancar dari caranya berjalan. Senyuman terpasang. Sesekali menyapa mahasiwa lain yang melewatinya. Penampilannya tidak perlu dipertanyakan. Selalu ada yang baru dan tentunya tidak murah. Kali ini dia memakai sepatu Nike keluaran terbaru. Genta jarang memakai barang yang sama lebih dari tiga bulan.

LIMERENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang