Chap # 14

14.5K 2.1K 132
                                    

 Langit tampak cerah. Udara terasa sejuk menyapu kulit. Situasi yang sebenarnya mampu membuat mood naik. Sayang sekali realita berbanding terbalik dengan kenyataan. Di antara semua orang, kenapa harus Genta yang berdiri di hadapanku? Ia muncul tanpa diduga. Rautnya masam dibalik senyuman kaku. Bola mata gelapnya menajam, dipenuhi keingintahuan berbalut amarah. Aku tidak perlu bertanya untuk menyadari perasaannya.

Sikapku tetap tenang, nyaris menganggap Genta angin lalu. Keberadaan beberapa orang pengunjung kios membuatku harus mengendalikan segala bentuk ketidaksukaan. Drama hanya akan menguntungkan posisi Genta.

Dengan sengaja aku mengabaikan pertanyaan-pertanyaaan Genta. Topik bahasan tentang siapa yang mengantarku. Aku tahu ia tidak akan mudah percaya tetapi jawabanku selalu sama. Mobil tadi milik tetanggaku. Lelaki paruh baya dan sudah berkeluarga. Aku beralasan ia melihatku sedang menunggu di depan pagar rumah sewaktu akan memesan ojek online dan menerima tawaran pergi bersama.

Aku bergerak ke depan etalase, menghadap penjaga kios yang sedang memasukan lembaran kertas fotocopy dalam plastik. Tanpa menunggu lama kusodorkan selembar uang kertas sebelum Genta beriniastif melakukannya lebih dulu. Setelah berbasa-basi sebentar aku bergegas pergi.

"Tunggu, Frey." Genta mempercepat langkahnya menjajariku.

Plastik kudekap erat di dada. Pandangan lurus sambil sesekali memerhatikan keadaan. Mulutku terkatup, bergerak semakin cepat memasuki gerbang kampus.

Suasana mulai ramai. Sejumlah pasang mata memerhatikan kami. Ada yang tak peduli tapi tidak sedikit menunjukan rasa penasaran terutama mereka yang satu fakultas. Hari berubah sangat menyebalkan. Semangat menguap berganti kekesalan.

"Bisa kita bicara sebentar, Frey?" Genta meraih pergelangan tanganku. Tindakannya memaksa kakiku berhenti. Beruntung aku sempat melipir ke jalan kecil menuju lobi hingga hanya segelitir yang lalu lalang.

Aku menarik pelan lengan lalu menepi ke sebuah pohon. Kami berdiri tidak terlalu jauh dari papan pengumuman. Aku harus tetap pintar menguasai emosi. "Ada apa lagi, Ta? Kalau soal tadi, jawabanku tidak akan berubah. Kenyataannya seperti itu." Kebohongan menari-nari dibalik topeng wajahku saat ini.

Genta menghela napas. Ia sempat mengigit bibir bawahnya seperti menahan perasaan tak nyaman. "Kenapa tidak sampai kampus?"

Tawa kecil bernada sebal meluncur dari bibirku. Sebelah tanganku mengangkat plastik berisi lembaran kertas fotocopy.

Genta kembali diam. Ia mengamatiku dari ujung kaki hingga rambut sebelum membuka mulut. "Aku minta maaf. Bukan maksudku..."

"Berhenti berlindung dibalik kata maaf. Aku tahu apa maksud tindakanmu." Keinginan beranjak dari tempat ini dan menjauh dari Genta semakin membesar. Daya tarik penampilannya tidak mampu membuatku mencari alasan untuk bertahan. "Tolong mengertilah. Sikapmu sudah di luar batas. Kita tidak lagi terikat. Aku menghormati pilihanmu jadi bisakah kamu melakukan hal yang sama?"

"Termasuk soal siapa pacarmu?"

"Apapun itu, Ta. Apapun."

"Jadi kamu memang sudah punya pacar baru?"

"Apakah setiap lelaki yang bersamaku itu pasti pacarku? Kita bukan lagi remaja tanggung. Kami pasti paham kata-kataku. Jangan memaksaku mengenang masa lalu sementara kamu sendiri masih mengejar ego. Seribu kali kita kembali pacaranpun akan berakhir putus."

"Sudah kubilang akan berubah! Katakan saja apa yang harus kulakukan."

Kepalaku menggeleng pelan. "Aku tidak ingin mendiktemu. Kamu harus menyadari sendiri kesalahanmu. Sekarang tolong beri aku ruang. Tindakanmu seperti ini hanya akan membuatku semakin membencimu."

LIMERENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang