Alvaro side

13.8K 1.8K 137
                                    

"Bayi besar aku pergi dulu ya. Sampai ketemu sore nanti." Sorot teduh perempuan berambut panjang berdiri di depanku. Kulit kecokelatannya berkilau indah.

"Laura, bisakah kamu tunggu di apartemenku? Aku janji setelah pekerjaan selesai akan segera menemuimu. Satu jam ah tidak setengah jam paling lama. Biar aku yang mengantarmu ke bandara." Tanganku menyentuh pipinya. Desakan yang entah berasal darimana seolah berusaha menahannya pergi.

Senyuman Laura membuat perempuan itu semakin cantik. Ia bergerak perlahan, melingkarkan kedua lengannya di pinggangku lalu mendongkakkan kepala. "Kamu tahu itu tidak mungkin. Lagipula kamu sedang mengerjakan project penting. Fokus saja pada pekerjaanmu. Aku pergi hanya satu minggu. Minggu depan kita sudah bersama lagi."

Kukecup puncak kepalanya dan mempererat pelukan. "Kenapa kamu baru memberitahu akan pulang ke Indonesia sehari sebelum berangkat. Jika aku tahu, aku bisa mengambil cuti untuk menemanimu."

Laura mencium singkat daguku. Matanya berbinar dipenuhi kebahagiaan. "Jangan memaksakan diri. Selama ini kamu selalu menghindar setiap ditanya kapan kembali ke Indonesia. Aku tidak ingin memberimu beban tambahan. Setelah aku urusan keluargaku selesai aku akan segera kembali."

"Tapi perasaanku tidak enak. Bisakah kamu menunda keberangkatanmu sampai besok? Biar aku yang mengurus semua."

"Tidak bisa, Al. Keluargaku membutuhkanku. Kita pernah berpisah cukup lama dan kamu baik-baik saja."

"Seharusnya waktu itu aku mendengarmu," gumamku sambil kembali mengecup kepalanya. "Aku membutuhkanmu, hanya kamu."

Laura tersenyum geli. "Kenapa tiba-tiba melankolis. Kamu sudah kuat sekarang. Tanpa dirikupun aku yakin kamu bisa menghadapi dunia."

Jantung berdegub kencang. Kegelisahan menjalari setiap bagian tubuh. Ada ketakutan tak beralasan muncul. Rangkulanku menguat, mengurung perempuan manis yang masih tersenyum. Kepalaku menunduk, menghujaninya ciuman. Laura membalas dengan intensitasi yang sama. Aku tidak peduli keadaan sekitar selama bisa menahan kepergian Laura.

Laura melepas ciumannya, mendorongku pelan meski tubuh kami tetap rapat. "Aku mencintaimu dalam diam sejak kita pertama bertemu. Aku tidak berhenti mencintaimu meski kamu memilih perempuan lain. Aku tetap mencintaimu walau kamu bilang kita berteman. Aku semakin mencintaimu saat kamu menyadari keberadaanku. Dan rasa cintaku tidak akan pernah berubah hanya karena jarak memisahkan. Kamu cinta dalam hidupku, Al. Selamanya."

Laura.

Nama itu bergema dalam hati. Bayangan perempuan cantik berkulit eksotis muncul di hadapanku. Senyumannya menawarkan berjuta kenyamanan. Rambut hitam tergerai indah. Tatapan hangat dalam bola mata kecokelatan.

Ia tidak pernah benar-benar pergi meski yang raganya tak lagi ada. Kenangan bertahun-tahun tersimpan kuat. Ia yang selalu memercayaiku. Pelindung ternyaman saat hidup terasa pahit. Teman terbaik kala berada di titik terendah. Kekasih paling setia. Aku kehilangannya sebelum sempat mengabulkan mimpinya.

Sakit ini masih sama seperti ketika firasat terburuk menjadi kenyataan. Waktu seolah berhenti berdetak. Tangis dan penyesalan terus menerus menghantui rasa bersalah. Meski sekarang intensitasnya tak lagi sama. Perlahan hati yang terkunci mulai terbuka. 

"Alvaro." Suara memanggil namaku dari balik pintu mengaburkan sosok Laura.

"Ya."

Seraut wajah tak lagi muda muncul. Senyum Nenek mengembang. "Kamu jadi pergi ke Jakarta."

"Jadi, Nek. Ada urusan penting di kantor. Azka minta aku datang."

"Freya gimana? Kamu sudah memberitahunya?"

LIMERENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang