Chap # 9

24.4K 2.6K 212
                                    

Pernikahan.

Kata itu terdengar seperti hukuman. Bukan berarti aku tidak berkeinginan membangun rumah tangga di masa depan, hanya saja saat ini secara mental dan psikis jauh dari kata siap. Ada banyak target yang belum tercapai.

Meski begitu di sisi lain permintaan Nenek Euis seakan membuka kesempatan bersama Alvaro. Tanpa pernah berani bermimpi tiba-tiba saja aku di hadapkan pada pilihan sulit. Menjalani tiga bulan dalam kepura-puraan atau mengabaikan keinginan Nenek Euis.

Aku meraih kesempatan pertama tanpa pikir panjang. Entah darimana keberanian mengambil keputusan yang penuh risikonya menakutkan. Alvaro tidak banyak mendebat begitu mendengarku mengabulkan permintaan neneknya. Kalau bukan karena sangat menyayangi perempuan paruh baya itu, dia pasti sudah menolak habis-habisan ide konyol itu.

Setelah kembali ke apartemen, dalam keheningan, aku baru menyadari terlalu cepat mengambil keputusan. Tiga bulan memang bukan waktu yang lama tetapi efek samping berita ini bisa membuatku tersiksa setidaknya hingga kelulusan. Aku harus tetap merahasiakan situasiku yang baru dari orang-orang di kampus termasuk dosen.

Suara pintu depan terbuka memotong lamunan. Aku segera bangkit dari sofa untuk melihat siapa yang datang.

"Ada yang tertinggal, Pak?" sapaku begitu sesosok lelaki muncul dari ruang tamu.

"Ya." Alvaro melewatiku tanpa menoleh. Sikap dingin. "Kamu istirahat saja."

"Kondisi Nenek Euis bagaimana, Pak?"

"Sudah lebih baik," jawabnya sebelum membuka pintu kamar. "Kamu boleh pulang ke rumahmu setelah acara besok. Mulai minggu depan kamu akan tinggal di sini menemani Nenek."

"Baik, Pak."

Alvaro menghilang di balik pintu. Keberadaannya lenyap dari pandangan. Dengan kepala masih dipenuhi kebingungan aku belum beranjak dari tempatku berdiri. Ada yang harus kusampaikan pada Alvaro.

Selang lima belas menit lelaki itu keluar dari kamarnya. Pakaiannya sudah berganti dengan model yang sama.

"Tidak istirahat?"

"Belum, Pak. Mm... kalau tidak keberatan, saya ingin bicara sebentar sama Bapak."

Alvaro melirik jam di tangannya lalu bergerak ke sofa berlengan tunggal. Caranya saat akan duduk tampak elegan. "Waktumu tidak banyak. Saya harus kembali ke rumah sakit. Apa yang mau kamu ceritakan."

Aku menelan ludah. Keberanian yang sebelumnya masih menggebu kini bercampur dengan enggan. "Begini. Soal permintaan Nenek Euis, saya ingin kita sepakat bahwa hubungan yang baru ini tidak sampai tersebar di kampus." Diamnya Alvaro justru menambah ketegangan. "Karena saya pikir Bapak cukup di kenal di kampus, apabila hubungan ini tidak berjalan dengan baik, berita-berita tentang kita akan bertahan dalam waktu lama."

"Kamu malu berhubungan dengan saya?"

"Oh... bukan, Pak. Hubungan ini hanya berlangsung selama tiga bulan demi menyenangkan Nenek Euis. Tapi orang-orang di luar sana tidak tahu kebenarannya. Mereka akan berpikir macam-macam tentang saya apalagi Bapak kenal dengan sejumlah dosen."

"Dan andai semua berlangsung lebih dari tiga bulan?"

"Tidak ada pengandaian. Keputusan mutlak ada di tangan Bapak. Saya yakin Nenek Euis akan menerima keputusan nanti. Ia akan mengerti kalau usahanya sia-sia. Dan tentunya kita harus membuat rencana ini berhasil."

"Kamu berharap nenekku kecewa."

Aku sulit mengerti cara berpikir Alvaro. Ia seharusnya mendukung pernyataanku. Tidak ada alasan baginya mengusahakan perjodohan kami melewati usulan tiga bulan.

LIMERENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang