8. Buka Hati

13 3 1
                                    

Happy reading

----------

Varel menyusuri koridor sambil menyisir rambutnya menggunakan sisir kecil yang ia bawa kemana-mana setiap hari.

"Hai cantik," sapa Varel pada setiap cewek yang berpapasan dengannya.

Setiap orang meresponnya berbeda-beda. Ada yang malu-malu membalas sapaan Varel, ada yang malah menundukkan pandangannya alim, pura-pura gak dengar, kegirangan dan malah ngajak selfie bareng, bahkan ada juga yang meresponnya dengan tatapan jijik.

Sampai di koridor bangunan kelas sepuluh IPS, pergelangan tangannya ditarik oleh cewek cantik berkulit putih. Ia hanya mengikuti langkah kaki cewek itu saja dengan senyum yang tidak luput dari wajahnya.

"Segitu bapernya ya di sapa sama aa Varel yang ganteng ini?" tanya Varel mengedipkan sebelah mata setelah keduanya duduk di kantin.

Cewek berambut sebahu itu menatap Varel dengan senyuman berbinar membuat yang ditatap ikut tersenyum memperlihatkan cengiran kudanya.

"Lo temennya Rian kan? Dia kenapa nomornya gak aktif-aktif sih?"

Bagaikan adegan di film kartun, wajah Varel membeku yang kemudian hancur berkeping-keping. Bukannya menjawab pertanyaan darinya, cewek cantik ini malah menanyakan temannya.

Musnah sudah harapan Varel untuk menjadikan cewek di hadapannya sebagai pacar ke dua puluh tujuhnya.

"Rian?"

Cewek itu mengangguk cepat.

"Dia mah sahabat gue dong." aku Varel bangga sambil menumpangkan satu kaki pada kaki yang lainnya.

Fanny menyodorkan benda pipih berwarna putih ke hadapan Varel. "Ini nomornya Rian bukan sih?" tanya Fanny.

Varel memperhatikan setiap deretan angka yang ada, tentu saja ia tidak hapal nomor sahabatnya itu. Nomor sendiri saja masih suka salah.

"Gak tahu, gue lupa," jawab Varel membuat Fanny menarik ponselnya kembali dengan wajah cemberut.

"Tapi dia emang HPnya rusak." terang Varel.

"Oh ya?"

Varel mengangguk hingga tak lama ia memicingkan matanya ke arah Fanny. "Lo suka sama Rian?"

Pertanyaan Varel membuat Fanny terkejut dan gelagapan sendiri. "Eh? Eng-enggak kok. Gu-gue.." Varel menunggu ucapan Fanny selanjutnya. "Ah! Gue mau minta tolong edit video gue ke dia. Denger-denger dia jago edit ya?"

Varel menatap Fanny takjub. Jago sekali cewek di hadapannya ini berbohong, padahal jelas-jelas Varel tahu kalau Fanny menyukai Rian. Entahlah, Varel rasa itu biar menjadi urusan Fanny.

Setelahnya Varel mengangguk. "Gak usah ditanya lagi, si Rian mah emang udah hobi kalo soal edit-editan mah."

Fanny menghembuskan napas lega. Beruntung ia pandai mencari alasan, ia sendiri tidak menyangka kalau Rian jago edit, ia hanya asal ceplos saja tadi.

Fanny menyunggingkan senyum bangga, dari sini juga ia tahu hobi Rian adalah mengedit. Dengan begitu, hal ini bisa menjadi bahan untuk modus nanti.

~~~

"Rel, bareng moal?" tawar Rian saat melihat Varel tengah menunggu angkutan umum di pinggir jalan.

"Kan rumah gue sama lo gak searah bambang,"

"Biarin, sekalian jalan-jalan."

"Oke deh, lumayaaan, ngirit ongkos," Varel mengisi jok belakang motor matic Rian.

"nah, kan kalo gini jadi berasa gak jomblo. Ya gak, Yan?" tanya Varel setelah motor mulai melesat ke jalan raya.

"Gue masih normal, Rel."

"Tapi keknya sebentar lagi lo gak bakal jomblo lagi deh, Yan."

"Sok tahu lo."

"Yee si kutil! Buktinya tadi ada cewek yang tanya-tanya soal lo ke gue."

"Kabener?"

"Benerrr.. Gue lupa tanya namanya. Tapi yang jelas rambut dia sebahu, cantik lah lumayan," Rian terdiam saat entah kenapa pikirannya langsung tertuju pada cewek yang bertabrakan dengannya di depan kantin.

"Oh iya, dia juga pake... Mmmm naon eta teh ngarana? Nu ditapelkeun di mata teh, Yan?" lanjut Varel bertanya perihal nama benda yang ditempelkan di mata.

"Bulu mata?"

"Lain, ieu mah nu di jero mata teh, nu warna-warni,"

"Softlens?"

"Tah eta, bener."

Rian semakin yakin kalau cewek itu adalah Fanny. Memang dirinya sedari awal sudah mengira kalau Fanny itu menyukainya. Pasalnya, setiap mereka berpapasan, Fanny selalu salah tingkah dan Rian menyadari hal itu.

Tidak bisa dipungkiri juga kalau Fanny merupakan gadis yang cantik dan menggemaskan di mata Rian. Tetapi entah mengapa seolah-olah masih ada benteng besar yang menutup hati Rian hingga saat ini.

"Dia minta tolong buat editin video ke lo," ucapan Varel selanjutnya membuat Rian tersadar dari lamunannya. "tapi gue bilang kalo HP maneh rusak."

Rian hanya bisa mengangguk pelan sambil terus menatap jalan raya yang mulai ramai dipadati oleh remaja berseragam putih abu yang memang sore ini merupakan jam pulang sekolah menengah atas.

"Lo dengerin aing gak sih, Yan?" sungut Varel menggeplak punggung Rian.

"Dengerrr,"

Apa ini saatnya gue buka hati lagi? batin Rian.

~~~

"Assalamu'alaikum," ujar Rian memasuki rumah.

"Wa'alaikumussalam."

Rian terkejut dengan kehadiran pria yang saat ini duduk di kursi ruang tamu dengan koran di tangan dan secangkir kopi hitam di meja.

Mata pria itu tak lepas dari koran. Bahkan ia tidak menolehkan pandangan untuk sekedar melihat siapa yang baru saja masuk ke rumahnya.

"A Rian, disuruh bagiin undangan sama pak RT," terdengar suara Zio dari ruang tengah.

Saat akan melangkahkan kaki menuju dimana Zio berada, ucapan dari pria itu menghentikan langkah Rian.

"Ayahnya dateng, harusnya disambut dengan baik. Bukan maen pergi gitu aja."

Tanpa sadar Rian mengepalkan tangannya. Rian tak habis pikir dengan Ali--ayah Rian. Pria itu selalu datang dan pergi sesuka hatinya.

----------

Bersambung...

Maaf part kali ini pendek huhuu lagi gak mood

Btw, sejauh ini, adegan mana sih yang paling membekas dan paling kalian inget? Atau chapter favorit gitu? Mwehee.. Komen yaa..

See you readers

📝Minggu, 20 Juni 2021

CHOOSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang