Part 1

2.2K 139 4
                                    


"Aku tidak bisa, Nyi." Kamala menggeleng sambil tersenyum. Diletakkannya bros berukir mawar dengan intan imitasi berwarna merah di meja. Bros tersebut merupakan lambang anggota sinden milik Nyai Sadimah.

"Kenapa?" Raut wajah Nyai Sadimah berubah. Matanya mendelik dengan sedikit jengkel. Pasalnya, dia telah mempermanis ucapan dan janji-janji untuk Kamala. Namun, perempuan itu begitu mudah menolaknya sedemikian rupa.

"Nyi, sejak Kakek meninggal, aku telah bersumpah untuk tidak bergelut di dunia sinden kembali. Dan, aku pun telah bersuami. Aku hanya ingin menjalani hidupku sedamai mungkin dengan suamiku."

Nyai Sadimah mengipasi lehernya, menutupi rasa kesal yang hampir saja dilontarkan lewat cercaan. Begitu bangga Kamala terhadap suaminya, padahal sang suami hanyalah seorang guru SD di desa terpencil ini. Sangat tak mungkin penghasilannya dapat menutupi kebutuhan rumah tangga.

"Kau bisa menjadi istri di siang hari, Mala. Malamnya, kau bekerja, dapat duit, jadi kau pun masih bisa berbakti sebagai istri, kan?" Nada suara Nyai Sadimah agak meninggi.

Melihat hal itu, Kamala hanya tersenyum lalu menggeleng. "Maaf harus mengecewakan Nyai. Tapi ...."

"Sudahlah, sudah! Aku beri kamu kesempatan untuk pikirkan hal ini. Pikirkan baik-baik!"

Nyai Sadimah beranjak dari balai-balai bambu yang berada di teras rumah Kamala. Tanpa berpamitan dengan pemilik rumah, dia melenggang menaiki delman dan membentak kusir agar segera meninggalkan halaman rumah Kamala. Sayup-sayup suara caciannya masih terdengar sepanjang jalan hingga menghilang di belokan jalan desa.

Kamala mengembuskan napas dengan lega. Sebenarnya, sejak membuka pintu dan mendapati Nyai Sadimah berdiri di depannya, dia ingin segera mengusirnya. Namun, rasa segan dan sopan santun membuatnya harus menerima kunjungan ketua mantan kelompok jaipong yang pernah digeluti Kamala.

Sudah setahun Kamala berhenti menjadi sinden dan penari jaipong. Bukan hal yang mudah karena kelompok yang ditinggalkannya sempat tak mengizinkan. Akan tetapi, Kamala tak bisa menahan diri ketika hatinya terus menggeligis saat bertemu Darma, anak Juragan Hadiningrat.

Dulu, ketika kakeknya masih hidup, meski banyak para pria yang menari bersamanya, tak satu pun yang berani melecehkan Kamala. Akan tetapi, semua berubah ketika sang kakek meninggal. Kelompok sinden yang dia ikuti dan juga dibina oleh sang kakek mulai berani menjual namanya. Bahkan, tak sekali dua kali Nyai Sadimah menjanjikan harapan kepada pria yang dapat membayar lebih besar untuk menari bersama Kamala. Kecantikan Kamala, suara merdunya, serta gerak gemulainya tersohor di beberapa desa. Hal inilah yang membuat rombongan jaipong Nyai Sadimah banyak diminati.

Hal terakhir yang tak bisa ditolerir oleh Kamala yaitu ketika Nyai Sadimah menyuruhnya pergi ke rumah Juragan Hadiningrat. Di sana, dia hampir dilecehkan oleh Darma. Beruntung saat itu di rumah Juragan Hadiningrat sedang banyak tamu, salah satunya Hardi.

Saat itu Hardi tengah berkunjung untuk menyewa salah satu rumah Juragan Hadiningrat. Hardi penduduk baru di Desa Ciwangi. Dia datang bertugas sebagai guru di sekolah dasar satu-satunya di desa tersebut. Dari peristiwa itulah mereka berkenalan dan menjadi dekat. Namun, tetap saja, bayang-bayang pelecehan itu terus teringat oleh Kamala.

Bagi Kamala, menjadi sinden adalah menyalurkan jiwa seni bukan untuk menjual diri apalagi menjual harga diri. Sikap itu disinisi oleh sebagian teman-temannya. Sebab itu pula yang membuatnya memutuskan berhenti dari dunia sinden dan menikah dengan Hardi.

Meskipun hidupnya hanya dilingkupi kesederhanaan, tetapi mereka bahagia. Kebahagiaan yang sangat diinginkan Kamala, menikah dan menua bersama sang suami.

***

Kamala memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam lemari. Saat akan menutupnya, pandangannya menumbuk pada selendang hijau yang terselip di antara pakaiannya. Kamala tersenyum, lalu menarik selendang tersebut.

Selendang hijau itu milik nenek buyutnya dan diturunkan ke generasi-generasi setelahnya. Menurut cerita kakeknya, meskipun selendang ini diturunkan lintas generasi, tak ada yang sepiawai nenek buyutnya dalam menari. Hingga kemudian kakek Kamala menemukan bakat itu di dalam diri Kamala. Sebab itulah, selendang itu diserahkan kepadanya.

Kamala mencium selendang tersebut. Meskipun dia berhenti menjadi sinden, rasa cintanya kepada tari dan karawitan tak bisa mati. Namun, semua itu dia lakukan di hadapan Hardi. Mereka akan menyanyi bersama, mengisi malam dalam selaksa cinta.

Tangan Kamala mengusap perutnya. Baru saja pagi tadi dia menyadari benih cinta mereka telah singgah dalam rahimnya. Kata Bidan Fatimah, bidan desa di puskesmas, usia kandungannya telah menginjak tiga bulan. Kamala sungguh tak sabar menanti kepulangan Hardi dan memberitahukan hal ini kepadanya.

Saat dia akan memasukkan selendang itu kembali ke tempatnya, sebuah gelang bertahta batu berwarna hijau terjatuh di dekat kaki Kamala. Kamala memungutnya perlahan. Dilihatnya dengan saksama hingga diingatnya gelang itu adalah pemberian sang kakek, yang telah hilang setahun lalu.

Sejak kematian kakeknya, gelang tujuh batu hijau itu pun ikut menghilang. Meskipun Kamala mencari ke sepenjuru rumah, gelang tersebut tak ditemukan. Kamala tersenyum dan segera memakai kembali gelang tersebut ke tangan kirinya kemudian menempelkannya ke telinga. Sejak kecil, dia menemukan rahasia besar pada gelang itu. Gelang itu dapat memgucapkan namanya jika didekatkan ke telinga.

"Kamala ...."

Senyum Kamala semakin melebar. Gelang itu masih sama seperti sebelum-sebelumnya.

"Sebut nama kami, Kamala."

Kamala mengernyit. Yang dia tahu, gelang tujuh batu hijau itu hanya dapat menyebut namanya. Namun, kali ini bertambah dengan kalimat lainnya.

Dia berniat mendekatkan kembali gelang tersebut ke telinganya, tetapi suara seseorang meneriakkan namanya dan mengetuk pintu rumah dengan keras hingga membuat Kamala terusik.

"Kamala! Kamala!"

Kamala menoleh dan bergegas membuka pintu. Dia melihat Janu, rekan guru di tempat Hardi mengajar, terlihat panik dan berkeringat.

"Kang Janu, ada apa?" Perasaan Kamala mulai dilanda khawatir.

"Hardi, dia ...." Janu menghirup napas dengan tersengal-sengal.

"Ikut aku, Mala. Suamimu dituduh memperkosa Santika, anak Juragan Hadiningrat. Cepat, Mala! Darma dan anak buahnya menarik dan memukulinya di lapangan ...."

Tak sempat mendengar apa pun lagi, Kamala bergegas lari meninggalkan rumahnya tanpa menutup pintu. Janu meneriakkan namanya, tetapi telinga Kamala tak lagi dapat mendengar apa pun. Bahkan dia lupa dengan kandungannya yang masih rentan.

Pikirannya hanya tertuju pada kondisi Hardi. Betapa pun serius tuduhan terhadap suaminya, Kamala tak akan memercayainya.

Darma, Santika, siapa yang tak tahu bagaimana ulah mereka di desa ini. Apa mungkin warga desa akan percaya pada tuduhan dua orang itu? Hardi tentu akan diselamatkan para warga, pikir Kamala.

Namun, apa yang dilihatnya di lapangan sekolah membuat Kamala tak kuasa menjerit. Dia berlari membelah kerumunan warga. Akan tetapi, tubuhnya dicekal seseorang, menghalanginya agar tak mendekati Hardi yang terlentang dengan luka berdarah dan tubuh hampir telanjang.

"Lepaskan!" jeritnya menghardik tangan Darma.

Darma tersenyum sinis lalu mendorongnya hingga terjatuh. Kamala mengabaikan Darma dan bergerak bangkit, tetapi sebuah tendangan membuatnya kembali tersungkur.

"Kau tetap membela suamimu? Dia memperkosa adikku, Kamala. Santika. Dia menjadi gila karena suamimu!"

Kamala melirik sinis kepada Darma, tetapi sama sekali tak menghiraukannya. Dia kembali bangkit dan berjalan ke arah Hardi yang juga berusaha bangkit meski kembali dipukul beberapa orang.

"Diam di tempatmu, Kamala!" Darma berteriak lantang dengan tangan berkacak pinggang.

"Selangkah kau mendekatinya, aku akan menyuruh mereka membakar tubuh suamimu hidup-hidup!" 

Sumpah Tujuh GunungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang