Part 11

814 106 9
                                    

Sejak kematian Marti, Nurdi terlihat lebih pendiam dan jarang keluar rumah jika bukan menyangkut pekerjaan. Di kantor desa, dia sering mengurung diri. Tak sedikit panggilan dari warga untuk menghadiri syukuran ditolaknya dan hanya diwakili sekretaris desa atau petugas yang lain. Kegiatannya hanya pulang-pergi antara rumah dan kantor desa, begitu terus hingga empat puluh hari kematian Marti.

Malam itu, hanya beberapa warga desa yang datang untuk mengikuti tahlil peringatan empat puluh hari Marti. Nurdi menghitung hanya ada tujuh orang yang bertandang. Namun demikian, tahlilan tetap dijalankan meski Nurdi harus merentan hati.

Selesai acara tahlil, Nurdi baru mengetahui kabar bahwa di kediaman Darma panggung jaipong digelar dengan meriah. Para warga berbondong-bondong menonton hiburan tersebut dengan iming-iming makanan yang enak. Sebab itulah, warga yang datang ke tempatnya hanya beberapa. Padahal, dia adalah kepala desa, tetapi harga dirinya amat direndahkan oleh Darma. Jangankan berbelasungkawa, menghormati empat puluh hari kematian Marti saja Darma begitu enggan. Jantungnya merenyut sakit. Panggung hiburan di halaman rumah Darma bagai garam yang ditaburkan pada luka-luka hatinya.

Nurdi gelap mata. Dia tak tahan lagi dengan hinaan Darma kepadanya. Nurdi meraih parang panjang lalu keluar untuk mencari hiburannya sendiri.

***

Darma mengelus-elus dagunya yang berjanggut tipis. Pandangannya tak lepas dari tarian Laksmi di atas panggung. Jika saja Sulatri tak memegang erat lengannya, ingin sekali dia menari bersama si bunga panggung itu.

Banyak sekali pria yang berebut menari bersama Laksmi hingga sinden jaipong lainnya harus tersingkir minggir. Setiap pria yang terkena kibasan selendang hijau Laksmi laksana terhipnotis hingga menyerahkan seluruh sawerannya. Tak terhitung berapa lembar rupiah yang terkumpul. Meski demikian, tak ada yang berani bertindak tak senonoh. 

“Akang!” bentak Sulastri ketika suaminya tak meladeni obrolannya. Pandangan Darma bagai hewan buas yang tengah menyoroti mangsa di panggung sana.

Kesal, Sulastri mencubit tangan Darma.

“Aduh!” Darma terlonjak dan menoleh dengan mata memelotot.

Mata Sulastri berkaca-kaca. Hatinya sakit melihat bagaimana Darma melepaskan cekala tangannya dengan kasar.

“Kalau kamu tak suka di sini, masuklah ke kamarmu! Benar-benar mengganggu.” Darma berdecak lalu menyulut rokoknya, menghisap kuat-kuat, kemudian mengembuskan kepulan asap hingga membuat Sulastri terbatuk-batuk.

Kesal dengan perlakuan suaminya, Sulastri terisak lalu berlari memasuki rumahnya. Dengan sengaja, ditutupnya pintu keras-keras. Akan tetapi, Darma sama sekali tak menghiraukan kelakuan istrinya tersebut.

Tak ada lagi yang mengganggu, Darma tersenyum bahagia. Dia berdiri, membuang batang rokok yang masih panjang, kemudian menaiki panggung. Kedatangannya disambut riuh para nayaga dan sinden yang menyebut-nyebut namanya.

Di dalam rumah, Sulastri menutup telinganya. Dia masuk ke kamar, tetapi suara para sinden itu masih terdengar begitu jelas sekaan-akan mengejeknya.

“Berengsek! Wanita sundal! Dia ingin merebut tahtaku rupanya. Aku tidak akan menyerahkan Kang Darma kepadamu.” Sulastri duduk di sisi ranjang dan meremas-remas bantal begitu kencang.

“Lihat saja, Kang. Aku tak akan segampang itu kaurayu lagi. Aku akan buat kau menyesal.” Sulastri mengusap air mata yang bergulir di pipinya.

Dia akan mendiamkan sang suami supaya Darma tahu bahwa dirinya tak semudah itu dibujuk rayu. Suaminya harus tahu, ratu di rumah ini hanya dirinya.

Sulastri merebahkan diri, tidur miring membelakangi pintu. Posisi itu merupakan tanda bahwa Sulastri tengah marah dan Darma wajib membujuknya. Biasanya, ketika sedang marah, Darma akan memberikan segala kata rayuan kepadanya lalu mereka akan menghabiskan malam dengan mereguk setiap tetes madu cinta. Anehnya, walau marah dan kesal, Sulastri mengharapkan itu terjadi.

Sumpah Tujuh GunungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang