Part 2

1K 124 6
                                    

Hati Darma memanas ketika melihat Kamala sama sekali tak menggubrisnya. Dia mengepalkan tangan menahan buncahan lahar yang menggeliat dalam dada. Giginya bergemeletak saat kaki indah Kamala terus melangkah mendekati Hardi.

"Bakar pemerkosa itu! Bakar dia!" teriak Darma dengan lantang.

Kamala menjegil lalu dengan cepat merebut sebilah golok dari salah satu penduduk yang berdiri tak jauh dari dirinya.

"Satu inci kalian mendekati suamiku, aku akan memenggal leherku di hadapan kalian semua. Bukankah kalian menyukai pertunjukan berdarah? Huh?" Kamala menempelkan golok tersebut ke lehernya.

Darma membuntang karena kenekatan perempuan itu. Hatinya semakin masam melihat betapa cinta Kamala kepada Hardi.

"Lepaskan suamiku!" tuntutnya kepada sekelompok warga yang masih berdiri mengerumuni Hardi.

Mereka terlihat ragu dan melirik kepada Darma. Darma mengangguk. Setelah mendapatkan izin, orang-orang tersebut menyingkir meski tak menjauh.

Kamala bergegas meraih suaminya. Dia meneteskan air mata, tetapi tak ada isakan dari bibirnya. Perlahan, didongakkan dan dipandangnya satu per satu warga yang mengeroyok Hardi.

"Kau, aku ingat bagaimana anakmu ditolong suamiku saat tenggelam di sungai. Hardi tak menghiraukan keselamatannya sendiri ketika dia menyelamatkan anakmu. Lalu, seperti inikah balasannya?" Kamala menatap tajam kepada pria yang memegang tambang.

Pria itu menunduk dan perlahan menyembunyikan tambangnya ke belakang.

Kamala memandang ke setiap orang. "Apa kalian memiliki bukti bahwa dia memperkosa Santika? Apa kalian melihatnya?"

"Dia melakukannya diam-diam, mana mungkin para warga tahu, Kamala! Buka matamu!" Lantang, Darma menjawab. Namun, Kamala sama sekali tak menggubrisnya.

"Beri aku saksi, siapa yang melihat Hardi memperkosa Santika?"

"Aku cukup menjadi saksi bagaimana adikku gila karena peristiwa itu, Mala. Tolong dengarkan aku!" Darma menurunkan nada suaranya lalu mendekati Kamala. Namun, pria itu terbelalak ketika Kamala kembali menyarangkan golok ke lehernya.

"Menjauh dariku, atau aku tak segan-segan mengiris urat leherku sendiri."

Darma melihat leher jenjang nan langsat itu ternoda sedikit darah karena tekanan golok yang sedikit menggores. Kamala tak main-main dengan ancamannya.

"Baiklah!" Darma mengangkat kedua tangannya lalu mundur beberapa langkah. "Tapi tolong, turunkan golok itu dari lehermu, Mala!"

Kamala masih waspada sehingga golok tersebut masih tetap di lehernya. Dia kembali menatap para warga yang masih berkerumun.

"Aku dapat mengingat betapa banyak bantuan Hardi untuk kalian. Dia guru anak-anak kalian. Dia pula yang turut membangun sekolah dengan menyisihkan penghasilannya. Lalu, beginikah sikap kalian kepadanya? Apa hati kalian buta sehingga tak dapat menilai siapa yang benar dan salah?" Ucapan Kamala begitu tenang, tetapi hal itu membuat membuat para warga menunduk.

Mereka menyetujui apa yang diucapkan Kamala, tetapi menghadapi anak Juragan Hadiningrat bukanlah perkara mudah. Mereka masih bekerja di lahan kebun milik sang juragan. Jika melawan, bukan saja mereka tak dapat lagi bekerja, melainkan nyawa taruhannya.

"Sekarang, jika kalian ingin menghakimi suamiku, kalian pun harus menghakimiku. Kalian, harus membunuhku di sini."

Warga desa berkasak-kusuk. Tak sedikit dari mereka yang tak memercayai ucapan Darma segera berbalik meninggalkan tempat. Melihat satu per satu meninggalkan lapangan, Darma berteriak menyuruh mereka kembali. Namun, Kamala pun dengan lantang menggemakan ancaman akan membunuh dirinya di sana.

Sumpah Tujuh GunungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang