Part 4

968 128 4
                                    

Rasa sakit dan mual menghunjam ulu hati Kamala. Dia terbatuk dan tersengal-sengal karena sesak pada dadanya. Kamala tak menyangka Santika akan menendangnya dengan keras hingga membuatnya tersungkur.

Seolah-olah kesetanan, Santika berteriak lalu menarik rambut Kamala. Tak dihiraukannya jeritan Kamala yang menyuruhnya lepas.

“Tak akan ada yang menolongmu, Sundal!” Santika terkekeh-kekeh. “Tidak Hardi, juga tidak Darma. Dunia ini lebih indah tanpa kehadiranmu.”

Kamala berusaha melepaskan diri dengan mendorong Santika. Akibat perbuatannya itu, Santika semakin keras menarik rambutnya hingga tercerabut segumpal rambut di telapak tangannya.

Santika mencebik jijik lalu mengangkat tangannya dan menampar Kamala, berkali-kali. Kamala hendak menangkap tangan Santika, tetapi dengan cepat beberapa orang menahan tangannya. Wajah pucatnya berganti kemerahan dengan cepat karena kuatnya tamparan.

Puas dan lelah menampar, Santika terengah-engah. Telapak tangannya memerah, tetapi dia tak merasakan sakit sebab rasa sakit di hatinya telah menidurkan akal sehat.

Kepala Kamala yang tengah menunduk, perlahan-lahan mendongak. Tak ada air mata, hanya pandangan dingin dan meremehkan. Merasa Kamala mengejeknya, kemarahan Santika kembali tersulut. Dia mengambil ranting seukuran lengan anak kecil yang tergeletak di dekat kakinya.

“Kau, wanita sundal! Lihatlah, kau tak akan bisa tertawa lagi setelah ini!”

Dalam kilat mata Santika hanya ada kebencian. Kebencian karena merasa tersisih ketika Hardi menolak cintanya. Kebencian karena dirinya tak bisa berbuat apa-apa ketika Hardi menikahi sinden penggoda itu. Dan kebencian karena dirinya ternoda pada malam itu; malam ketika dia meminta Hardi datang, tetapi pria itu tak pernah datang; malam yang ingin Santika hapus karena telah melakukan hubungan sedarah.

Mengingat malam terkutuk itu, Santika menggeram dan langsung melayangkan ranting di tangannya memukul telak mengenai pelipis Kamala.

Kamala menjerit. Namun, di pendengaran Santika jeritan itu mengingatkan jeritannya sendiri ketika melawan Darma yang tengah mabuk. Darma memperkosanya, tetapi dalam ceracaunya nama Kamala selalu disebutnya.

Meski telah tersungkur, Santika terus melayangkan pukulan-pukulan pada tubuh Kamala. Kali ini Kamala menjerit, meminta Santika berhenti.

Kedua tangan Kamala melindungi perutnya. Dia bergelung melindungi perutnya dari pukulan-pukulan tersebut.

“Tolong, hentikan! Hentikan!” Panik karena perutnya tiba-tiba merasa sakit, Kamala terus memohon. Khawatir kepada keadaan janinnya, air mata Kamala bercucuran.

“Kau ….” Tangan Santika masih teracung tinggi dengan ranting tergenggam di tangannya.

Melihat Kamala begitu melindungi bagian perutnya, Santika terbeliak. Air matanya menggenang, tetapi tatapannya makin dipenuhi angkara murka.

“Kau hamil?” tanyanya dengan suara lirih. Namun, tak perlu jawaban Kamala, sebab betapa erat tangan itu melindungi perut, Santika telah mendapatkan jawabannya.

Santika terkekeh-kekeh diiringi linangan air mata. Betapa beruntungnya Kamala, pikirnya. Mengapa dia begitu dicintai Hardi, sedangkan dirinya terasa sia-sia seperti ini. Santika terbahak-bahak.

Suara tawa itu terdengar gila. Bahkan enam orang centeng Juragan Hadiningrat merasakan ketidaknormalan anak majikannya.

“Aku akan membunuhmu! Kau dan anak itu tak boleh lahir di dunia ini!” Santika berteriak lalu kembali melayangkan ranting kayu di kepala Kamala. Pukulan itu amat keras hingga membuat ranting patah menjadi dua bagian.

Sumpah Tujuh GunungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang