Keriuhan pesta bertambah hangat saat para sinden menaiki panggung. Sorak-sorai para penonton menambah gempita suasana. Apalag ketika penari jaipong satu per satu melenggak-lenggok sambil mengibaskan selendang seolah-olah tanda bahwa mereka mengharapkan para lelaki naik ke panggung.
Tak terhitung lama, tawaran para penari bersambut baik hingga seluruh panggung hampir ditutupi para penari dan tamunya.
Sedekah bumi di halaman Juragan Hadiningrat berlangsung aman dan lancar. Berkah bulan purnama merah pun diyakini akan membuang sial bagi mereka yang datang.
"Mencug, Kang?" Salah satu sinden tiba-tiba saja berada di sisi Darma tanpa tanda-tanda keberadaan dirinya dirasakan.
Darma menoleh dan memandang wajah sinden berkebaya merah dengan selendang hijau tersebut. Roncean melati menggantung indah di sisi kiri dengan tusuk konde yang bergoyang-goyang kala perempuan itu mengangguk. Wajahnya terlihat lugu dan muda, sekilas mirip Kamala, tetapi juga berbeda. Namun, kecantikannya merupakan bunga panggung di pertunjukkan kali ini.
"Aku tak pernah melihatmu di rombongan Nyai Sadimah. Kau penari baru?" tanya Darma.
"Betul, Kang. Aku penari baru." Perempuan itu menunduk. "Dan, Nyai Sadimah menyuruhku untuk melayani Kang Darma ... dengan sebaik mungkin," sahutnya dengan malu-malu.
Mata Darma berbinar. Dia tersenyum sambil mengangguk-angguk.
Nyai Sadimah benar-benar pengertian, pikirnya. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh bahu sinden baru tersebut. Namun, tiba-tiba tangannya ditepis seseorang.
"Kang!" bentak Sulastri sambil memelototi suaminya. Dia pun menoleh dan mendelik sinis kepada sinden baru tersebut.
"Dasar Sundal! Belum apa-apa sudah menggoda suami orang."
"Lastri!" Darma menahan istrinya kala Sulastri hendak menampar sinden tersebut.
"Punten, Akang, Teteh. Aku tak bermaksud demikian, hanya ingin memberikan pelayanan sebagai pemberi jasa hiburan. Juragan Besar dan Juragan Kecil membayar kami, jadi kami harus melayani mereka."
Mendengar kata dilayani, Sulastri makin meradang. Dia hendak maju dan mencakar sinden tersebut, yang di matanya terlihat tersenyum penuh kemenangan. Namun, Darma segera menarik dan membawanya paksa menjauh dari acara kala Juragan Hadiningrat memelototi mereka.
Sinden tersebut masih terpaku di tempatnya dengan kepala tertunduk. Meski keributan kecil itu sempat menjadi pusat perhatian, tetapi nada-nada dari gamelan dan langgam yang kembali dinyanyikan membuat para warga kembali menari bersama para sinden.
Marti mengamati sinden yang sempat berseteru dengan Sulastri. Dia merasa familier dengan tinggi semampainya tubuh wanita itu. Namun, Marti tak ingat pernah bertemu di mana.
Dia mengangkat bahu dan berbalik menyusul Sulastri. Suaminya menitahkannya agar mendekati istri yang baru dinikahi Darma tersebut. Hal ini tentu akan memuluskan jalan Nurdi untuk menggali keuntungan-keuntungan yang akan didapatkannya nanti.
Marti baru saja berjalan tiga langkah ketika jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Amat kencang saat tubuhnya, tanpa dia sendiri menggerakkan, kembali berbalik dan menatap sinden berkebaya merah yang kini membelakanginya tersebut.
Rasa takut Marti kembali muncul. Sensasi tak nyaman ini telah dia rasakan kemarin ketika bercermin pada cermin rias milik Kamala. Bahkan, dia pingsan dan bermimpi Kamala muncul dari cermin tersebut dan bermaksud menyeretnya ke neraka.
Akan tetapi, mengapa perasaan takut ini kembali muncul di sini, di tengah keramaian pesta? Dia ingin menyutujui pendapat suaminya bahwa Kamala telah mati dan tak mungkin bangkit kembali. Namun, melihat perawakan sinden berkebaya merah di depannya itu mengingatkan Marti kepada sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sumpah Tujuh Gunung
HorrorTur tujuh gunung pangka jampi Pusering tujuh talaga Angen tujuh leuweung Tujuh guriang panggen kuring Berikan sumpah kalian, Wahai Para Guriang! Tunduklah kepadaku! Kamala, dalam balutan dendam kesumat mengucapkan sumpah ketika dirinya dikubur...