Matahari telah duduk di singgasananya ketika warga desa digegerkan oleh sirine mobil polisi. Para petani yang sedang mengolah sawah dan ladang menghentikan sejenak pekerjaan mereka dan bergerak mengikuti mobil tersebut. Polisi yang memasuki desa mereka amat sangat jarang. Setahun sekali pun tidak. Sebab itulah, warga desa terheran-heran.
Mereka tahu tentang Marti yang kesurupan dan membunuh beberapa warga kemarin malam. Namun, biasanya, kasus kriminal apa pun tak akan sampai pelaku itu ditangkap polisi. Juragan Hadiningrat dan Kepala Desa hanya akan memberlakukan denda kepada pihak yang dirugikan, lalu kasus akan selesai.
Warga desa melihat para polisi tersebut memasuki rumah Marti. Sejak kemarin malam, setelah membunuh salah satu anak buah Darma, Marti diikat dalam keadaan pingsan. Ini demi kebaikan bersama sebab Nurdi tak pernah tahu apakah Marti akan kembali kesurupan dan membunuh kembali. Namun demikian, pria itu tak pernah menebak bahwa polisi datang dan berniat membawa Marti ke penjara.
"Pak! Masalah Marti akan saya selesaikan. Tidak perlu dia dibawa ke kantor polisi." Nurdi mencoba bernegosiasi. Dia tak tega melihat Marti menangis meminta pertolongannya.
"Silakan Bapak menghadap ke kantor polisi nanti untuk menyelesaikan perkara. Sebab, hal yang dilakukan istri Anda telah melanggar hukum dan hak hidup manusia."
"Tapi ...." Nurdi ingin membantah, tetapi polisi tersebut segera memerintahkan yang lainnya memasukkan Marti ke mobil tahanan.
"Tunggu sebentar, Pak. Siapa yang melaporkan Marti? Apakah salah satu keluarga korban?" Nurdi menahan tangan polisi tersebut.
Nurdi tak akan percaya jika keluarga korban yang akan melaporkan mereka. Dia adalah kepala desa, orang yang dihormati mereka. Lagi pula, Nurdi telah memerintahkan sekretaris desa untuk memberikan uang santunan kepada para keluarga korban. Melihat watak warga desanya, tak akan mereka menuntut Marti.
"Bukan, Pak. Yang melapor kepada kami adalah Pak Darma. Beliu telah melakukan hal yang benar dengan melaporkan perkara ini." Setelah menjelaskan demikian, polisi tersebut beranjak dari hadapan Nurdi yang mematung.
Nurdi tak bisa berbuat apa-apa saat mobil polisi yang membawa Marti itu melaju meninggalkan kepulan debu di halaman rumah. Tangisan dan suara Marti yang berteriak memanggilnya perlahan-lahan menjadi sayup kemudian menghilang. Bahkan para warga desa yang menonton mulai membubarkan diri dengan berbisik-bisik, yang Nurdi yakini tengah membicarakan istrinya.
"Darma ...." Gigi geligi Nurdi bergemeletak ketika mengucapkannya. Tangannya mengepal kencang dengan mata memerah karena menahan air mata.
Dia selalu menuruti perintah Darma dan keluarganya, apa pun itu. Bahkan ketika Santika memerintahnya membawa Kamala waktu itu, Nurdi dan Marti menurutinya tanpa mempertimbangkan ikatan persahabatan. Semuanya karena Nurdi ingin mengabdi dan mendapatkan keuntungan besar. Dia perlu menempel pada inang yang kuat agar terus tumbuh berkuasa di desa ini.
Akan tetapi, apa yang diperolehnya sekarang? Marti ditangkap polisi dengan kasus yang serius. Akan sulit baginya membebaskan Marti tanpa dukungan keluarga Hadiningrat. Sekarang, dengan dilaporkannya Marti oleh Darma, mereka tentu ingin membuang dirinya juga.
"Darma, tunggu apa yang bisa kuperbuat sebagai imbalan atas hadiahmu ini." Nurdi meninju tembok hingga punggung tangannya berdarah.
Tak jauh dari halaman rumah, sosok pria mirip Darma berdiri di balik pohon sisi jalan. Pandangannya tajam menatap Nurdi yang terus memukuli tembok. Setelahnya, dia berbalik dan melangkah pergi. Perlahan-lahan, postur tubuhnya berubah seiring perubahan wajahnya menjadi sosok Kamala.
***
Juragan Hadiningrat mengangguk setelah mendengar laporan dari salah satu anak buahnya, Sarta. Dia baru saja mengetahui Marti ditangkap polisi. Mengetahui pelapor itu adalah anaknya, dia mengutuk Darma dalam pikirannya. Hatinya tak tenang karena Marti bisa saja membuka suara tentang Kamala di hadapan polisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sumpah Tujuh Gunung
HorrorTur tujuh gunung pangka jampi Pusering tujuh talaga Angen tujuh leuweung Tujuh guriang panggen kuring Berikan sumpah kalian, Wahai Para Guriang! Tunduklah kepadaku! Kamala, dalam balutan dendam kesumat mengucapkan sumpah ketika dirinya dikubur...