Santika terbangun dan langsung terduduk. Peluh membasahi wajahnya. Dia menoleh dan mendongak, memastikan bahwa keadaannya aman. Hingga kemudian, dia ingat pada sosok Nyai Bayan. Namun, wanita tua tak ada di kamarnya.
Malam rupanya telah menjelang. Santika melihat pelayannya masuk membawa senampan makanan. Pelayan itu terlihat ketakutan dan hanya meletakkan makanan lalu bergegas pergi. Melihat tingkah mereka, Santika merasa geram. Namun, dia tak ingin berbuat ulah karena hal ini akan membuat ayahnya makin membencinya.
Santika mengambil sepiring makanan. Namun, baru saja satu suapan, dia meludahkannya. Makanan di piring itu terlihat enak, tetapi Santika tak menyukainya.
Dia berdiri lalu berjalan ke arah pintu. Entah pelayan itu teledor atau ibunya memang berniat melepaskannya, pintu tak dikunci seperti biasanya. Santika tersenyum lalu segera menyelinap keluar.
Langkahnya seringan bulu ketika berjalan ke ruang tamu. Anehnya, rumah tampak sepi. Pelayan maupun ayah dan ibunya tak ada. Rumah begitu hening hingga membuat Santika dapat mendengar suara sekecil apa pun.
“Ibu!” panggilnya. Namun, tak ada jawaban apa pun.
Santika keluar dari rumahnya. Dia menghidu aroma-aroma lezat yang membuatnya mengendus-endus. Entah mengapa rasa lapar pada akhirnya membuatnya hilang akal. Dia segera mengikuti aroma makanan yang makin lama makin menggugah seleranya.
Lalu, saat melihat limpahan makanan tersaji, Santika tak lagi menahan diri. Bagai tak pernah makan bertahun-tahun, dia meraup apa pun yang ada. Tak dihiraukannya jerit ketakutan para pelayan yang melihatnya menggigiti ayam dan memakannya hidup-hidup.
***
Baru saja sampai di rumahnya, jeritan para pelayan membuat Asti dilanda cemas. Dia merasa Santika kembali berulah. Entah apalagi kali ini, Asti tak tahan dengan permasalahan yang sama.
“Ju, juragan … itu ….” Salah satu pelayan yang datang menyongsongnya segera menunjuk ke kandang ternak.
Rasa hati Asti makin tak enak. Ketika dia menguak kerumunan pelayan, dilihatnya Santika tengah membunuhi ayam-ayam dan memakannya hidup-hidup.
“Santika!” jeritnya sambil menarik anaknya.
Santika memberontak dan mendorongnya. Dia menggeram-geram. Asti segera memerintahkan pelayannya untuk menyeret Santika. Meski demikian, tenaga Santika cukup kuat untuk mendorong semua orang.
“Tika … ini Ibu, Nak.”
Santika menggeram-geram dengan mata mencelang. Para pelayan yang ketakutan segera berlari dan berteriak meminta tolong. Melihat tak ada yang dapat diminta tolong, Asti mundur dan memerintahkan pelayan memanggil Juragan Hadiningrat. Asti memutuskan mengunci kandang dan membiarkan Santika berada di dalamnya.
Hatinya hancur, tetapi Asti tak dapat melakukan apa pun.
***
Darma memasuki rumahnya sambil melemparkan jaket ke sembarang tempat. Hatinya gulana karena beberapa hari ini Laksmi seolah-olah menghilang. Meski dia membujuk Nyai Sadimah, wanita itu tak mau memberikan informasi apa pun.
Setelah meneguk air minum, Darma menyalakan rokok dan berdiam di sisi jendela. Diisapnya rokok itu kuat-kuat, lalu diembuskannya dengan kasar.
Asap rokok tersebut sedikit mengaburkan pandangan. Dia mengibas-ngibaskannya agar asap lekas pergi. Akan tetapi, asap itu makin bergumul banyak dan bertambah. Darma mundur ketika asap di depannya bergulung-gulung membentuk sosok manusia pucat.
“Ini tak nyata.” Dia menggeleng-geleng.
Namun, saat pandangannya mengitari sekitar, Darma baru menyadari bahwa dirinya tak lagi berada di rumah. Hanya ada kegelapan ke mana pun matanya memandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sumpah Tujuh Gunung
HorrorTur tujuh gunung pangka jampi Pusering tujuh talaga Angen tujuh leuweung Tujuh guriang panggen kuring Berikan sumpah kalian, Wahai Para Guriang! Tunduklah kepadaku! Kamala, dalam balutan dendam kesumat mengucapkan sumpah ketika dirinya dikubur...