Part 14

840 109 3
                                    

Kamala menyeringai ketika jarak pandangnya dengan Nyai Bayan hanya tinggal beberapa langkah. Seringainya membuat wanita tua itu makin muak sebab mengingat kegagalannya dulu mendapatkan para guriang. Ditambah wajah cantik Kamala yang sempurna, Nyai Bayan menganggap Kamala berusaha mengejek wajahnya yang penuh luka dan cacat.

“Sudah kubilang sebelumnya, aku tak mempunyai masalah apa pun denganmu. Mengapa kau menggangguku?”

“Aku tak akan mengganggumu jika kau menyerahkan apa yang menjadi milikku.”

“Milikmu?” Kamala terbahak-bahak. Dia mengangkat tangan kirinya memperlihatkan gelang batu hijaunya. “Kau menginginkan ini?”

Gelang hijau itu memancarkan sinar kehijauan. Dada Nyai Bayan berdegup kencang kala ingatannya melintas pada jutaan tahun lalu. Hampir saja kala itu dia menangkap mereka. Namun, Sangkuriang mengetahui kelicikannya dalam membantu Dayang Sumbi mengibarkan astra dewangga, selendang pemanggil fajar.

Nyai Bayan menjejakkan kaki lalu melompat dengan kekuatan penuh. Pukulan itu hampir mengenai pelipis Kamala jika tak cepat menggelicik.kan kepala.

Kamala mundur dua langkah dan melemparkan selendangnya untuk membalikkan serangan. Akan tetapi, Nyai Bayan secepat kilat berpindah dan memukulnya dari arah belakang. Kamala tersungkur dan hampir mengenai sebuah nisan.

“Kau tak akan menang dariku, Anak Muda.” Nyai Bayan terkekeh-kekeh. “Aku bukanlah tandinganmu.”

Kamala mengepalkan tangannya, sepenuh perasaan menyalurkan tenaga pada selendang hijaunya. Namun, tiba-tiba saja tanah yang dipijaknya bergetar kuat hingga membuatnya mengalihkan pandangan. Di saat itulah, rapalan mantra terdengar mengalun hingga membuat jantung Kamala merenyut kuat.

“Nu hyang dhaka sadusa
Mara sa thi amatarga
Ma cadiwal ageng janastra
Guriang ti kasalindung
Tunduk!”

Kamala berusaha berdiri, tetapi tanah yang dipijaknya bergetar hebat hingga terlihat retakan-retakan yang mulai menganga. Angin bertiup kencang membawa kabut pekat turun  dari lereng gunung. Siang yang semula cerah kini diselimuti gumpalan mendung.

Napas Kamala sesak. Tenggorokannya serasa dicekik oleh sesuatu tak kasat mata. Pun dengan gelang yang dipakainya tiba-tiba berubah panas.

Kamala menangkup gelang tersebut. Pikirannya berkecamuk antara melepaskan gelang tersebut atau mempertahankannya. Sementara, pergelangan tangannya telah terbakar dan melepuh berasap.

Nyai Bayan mendekat sambil menyeringai sinis. Makin dekat wanita tua itu, gelang di pergelangannya makin panas dan membakar.

“Kau tak akan bisa menahannya, Anak Muda. Lepaskan itu dan berikan kepadaku.”

Wajah Kamala begitu pasi. Keringat membaluri wajahnya. Namun demikian, dia kuat menahan tangan kanannya agar tak meloloskan gelang guriang.

Dengan tersenyum datar, Kamala berucap, “Bahkan jika aku harus mati, aku tak akan melepaskannya.”

Pipi Nyai Bayan berkedut-kedut membuat bekas lukanya terlihat bergerak-gerak. Matanya memancar sinar kekejaman.

Lepuh pada pergelangan tangan kiri Kamala mulai menyebar hingga ke lengan. Namun, Kamala menahan suaranya agar tak menjerit. Dia tahu wanita tua itu tak akan membunuhnya, sebab jika dia mati, guriang itu akan menghilang dari jangkauannya.

Namun, apa yang tak disangka-sangkanya terjadi: tanah yang Kamala pijak tiba-tiba terbelah. Berpasang-pasang tangan menarik dan menyeretnya ke dalam lorong gelap. Kamala menjerit kala tangan-tangan hitam menggerayangi tubuh kemudian menyelubunginya hingga menutup seluruh tubuh dan wajah. Satu matanya, yang tak tertutup, membeliak kala tarikan kuat menerungkunya dalam kegelapan hampa. Hanya tawa Nyai Bayan yang terdengar sesaat lorong gelap itu bergerak perlahan-lahan menutup.  

***

Nyai Sadimah berkali-kali melihat pintu kamar Kamala yang tertutup rapat. Dia ingin mengetuk, tetapi urung karena tak siap menatap matanya. Setelah mempertimbangkan beberapa kali, Nyai Sadimah kembali memasuki rumah induk.

Telah tiga hari Kamala tak menampakkan diri. Biasanya, meski tak pernah keluar, suara tembangnya mengalun dari kamar paling belakang itu. Sekarang, tak ada suara maupun gerakan dari kamar tersebut membuat Nyai Sadimah perlu mengeceknya. Bukan karena peduli, hanya memastikan bahwa perempuan itu telah pergi dan tak mengganggunya kembali.

“Kau tak mendengar apa pun dari bilik sana?” tanya Nyai Sadimah kepada salah satu sinden binaannya.

“Tidak, Nyai. Aku pikir dia malah kabur.”

Nyai Sadimah mengernyit. Dia menggeleng lalu menyuruh anak buahnya tersebut bergegas pergi.

Untuk membuktikan dugaannya, Nyai Sadimah mencoba keluar dari rumah. Biasanya, Kamala tak pernah mengizinkannya keluar. Perempuan itu akan selalu muncul di mana pun memperingatkannya.

Nyai Sadimah bergegas, hanya mengambil selendag dan disampirkan di bahu, kemudian keluar dengan menaiki delman pribadinya. Jantungnya berdegup kencang. Dia takut Kamala muncul tiba-tiba. Akan tetapi, delman telah melaju cukup jauh dari halaman rumahnya, perempuan itu tak muncul juga.

Nyai Sadimah mengerti. Kamala telah pergi. Dia tersenyum lalu terkekeh-kekeh hingga membuat kusirnya melirik beberapa kali kepadanya.

“Darna, kita pergi ke rumah Juragan Asti. Akan kuungkap semua perbuatan Kamala itu kepadanya.” Nyai Sadimah mendongak pongah.

“Iya, Nyi ….” Darna memecut kuda dua kali hingga kuda tersebut berlari lebih kencang.

Nyai Sadimah terus menerus tersenyum sambil memutar-mutar ujung selendangnya. Dia bersenandung tanpa lirik mengekspresikan kebahagiaannya.

“Jalan lewat belakang saja, Darna. Juragan Asti lebih suka kami muncul di sana.”

Nyai Sadimah telah memikirkan berbagai hadiah yang dapat diterimanya nanti. Mungkin, Juragan Asti akan memberikannya perhiasan emas. Bukankah informasi yang akan didapatkannya nanti seimbang dengan nilai emas.

Delman tersebut hampir sampai di pintu belakang rumah Juragan Hadiningrat. Tiba-tiba, kuda yang dikendalikan kusir mengangkat kedua kaki depannya dan bersikap panik dan liar. Kuda tersebut berputar lalu lari berkelok-kelok hingga membuat Nyai Sadimah terpelanting ke berbagai arah sebelum terlontar dari kereta. Setelah melontarkan Nyai Sadimah, kuda tersebut berlari cepat dengan kusir yang berteriak-teriak panik.

Nyai Sadimah berguling-guling hingga tubuhnya membentur kaki seseorang. Napasnya terengah-engah ketika Nyai Sadimah beranjak bangkit, dan hendak meminta maaf kepada orang yang ditabraknya. Namun, ucapannya tertahan di tenggorokan.

Di hadapannya, Kamala berlumuran darah. Dia memelototi Nya Sadimah penuh kebencian.

Nyai Sadimah menggeleng-geleng. Dia tahu Kamala tentu melihat apa maksud kedatangannya ke rumah Juragan Hadiningrat.

“Ti,tidak … Kamala. Aku ….”

Kamala mengulurkan tangan kanannya dan mencengkeram leher Nyai Sadimah. “Aku … tidak suka … pengkhianatan.” Ucapan itu dilontarkan dengan penuh penekanan.

Nyai Sadimah hampir menangkupkan tangannya, tetapi cekikkan kuat di lehernya membuat Nyai Sadimah memilih mencoba melepaskan tangan Kamala.

“Am … phuuun,” ucapnya tersengal-sengal. Namun, tatapan Kamala makin tajam menusuk. Nyai Sadimah tahu, tak ada lagi pengampunan baginya.

Kamala terus mengeratkan cekikkannya hingga Nyai Sadimah membuka mulut untuk meraup napas. Saat itulah, tangan kiri Kamala meraih lidahnya. Satu entakan kuat, lidah itu dibetot hingga putus dari pangkalnya.

Mata Nyai Sadimah mencelang. Teriakannya tertahan di tenggorokkan yang dicekik. Napasnya lepas dilesap kematian.

Kamala membuka bibirnya ketika sinar aura Nyai Sadimah keluar lalu memasuki mulut Kamala. Setelah aura tersebut tertelan habis, tubuh Nyai Sadimah hanya tinggal tulang belulang.

Kamala melepaskan tulang Nyai Sadimah. Tulang belulang itu ambruk di tanah lalu perlahan-lahan menghilang menjadi debu. Tak ada sorot kasihan ataupun sedih di mata Kamala. Dia berbalik lalu menangkupkan tangan. Perlahan-lahan, tubuhnya berubah menyerupai Nyai Sadimah.

Bersambung ….

Notasi: harga novel Sumpah Tujuh Gunung khusus hari ini 4 September 2021 hanya 55ribu. Cepat, ya, WA saja ke 082126060596

Sumpah Tujuh GunungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang