Santika mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia terperenyak melihat sekeliling. Sebuah tempat bertanah basah dan dingin. Kabut yang cukup pekat membuat pandangannya pun terbatas.
Dia mengumpat ketika tangannya terasa sakit. Saat memeriksanya, sebuah lebam cukup besar tercetak di pergelangan tangan. Santika makin heran karena sebelumnya tak ada benturan atau apa pun pada tangannya.
Perlahan, dia bangkit dan meraba-raba sekitar, berharap ada sebuah penanda dirinya ada di mana. Hingga kemudian, tangannya menyentuh batu. Ketika ditelusuri, batu tersebut berukuran besar dan memanjang. Tak sadar, Santika terus berjalan sambil meraba sisi batu tersebut hingga kabut perlahan-lahan menipis dan membebaskan pandangan Santika.
Namun, yang dilihatnya kemudian, bukanlah sebuah jalan keluar. Di hadapan Santika, sebuah kolam berwarna merah serta berbau amis. Tak tahan dengan hal itu, Santika segera menutup hidung. Dia mundur dua langkah, berbalik, dan hendak berlari. Akan tetapi, tubuhnya menabrak dinding batu. Jalan yang sebelumnya dia lalui, menghilang, seolah-olah tak pernah ada.
Santika kembali berbalik. Kali ini peluh mulai bermunculan di pelipisnya. Jantungnya berdegub cepat kala keheningan di sana berganti dengan suara tawa yang terdengar jauh.
“Siapa?” Santika mendongak. Dilihatnya langit-langit berbatu, yang membuatnya mengerti bahwa dia berada di dalam gua.
Suara tawa itu menghilang berganti dengan suara angklung. Hanya satu nada yang dimainkan. Namun, setiap kali nada itu disenandungkan, kolam berwarna merah darah itu beriak.
Kembali bau amis itu menyeruak indra penciumannya. Santika segera beranjak, mencoba mencari celah jalan keluar, atau sekedar lubang kecil untuknya berteriak meminta tolong. Namun, baru saja beberapa langkah dia melangkah, tanah yang dipijaknya bergetar, perlahan dan berubah makin keras hingga menimbulkan retakan besar.
Santika menjerit ketika sebuah tangan keluar dan mencengkeram kakinya. “Jangan! Lepaskan aku!”
Dia mencoba menarik kakinya, tetapi kaki tersebut makin erat dicengkeram. Cengkeraman itu amat kuat hingga bunyi retakan terdengar seiring jeritan Santika yang memekakkan.
Peluh telah membuat rambut santika menempel di pipi dan leher. Dia tersungkur tak berdaya menahan rasa sakit patah tulang. Hingga kemudian, suara angklung tersebut kembali berbunyi membuat kolam semerah darah itu beriak. Makin keras, riak air kolam makin bergelombang.
Santika terbelalak ketika gelombang air itu berputar-putar hingga membentuk lekuk tubuh sintal seorang wanita.
Wanita berkebaya merah dengan bunga mawar diselipkan di celah cuping telinganya berjalan perlahan-lahan keluar dari kolam. Dari bibirnya, senandung nada dilantunkan disertai senyum sinis.
Santika tertegun. Rasa sakit di kakinya bahkan terlupakan karena degup jantungnya berdetak lebih cepat. Hawa dingin menyelapi kulit hingga membuatnya menggigil.
Santika menggeleng dan tak sadar bibirnya berucap, “Kamala.”
Ucapan itu membuat wanita berkebaya merah semakin mendekat dengan dagu terangkat. Santika beringsut. Sialnya, cekalan pada kaki membuatnya tak bisa bergegas pergi.
“Pergi … pergi! Kau sudah mati!” Santika mengibas-ngibaskan tangannya.
Sosok Kamala terus mendekat hingga wajah mereka berhadap-hadapan.
“Tika … aku masih hidup.” Kamala mengusap rambut Santika. “Aku ada di dalam jiwamu, Tika.”
Santika menggeleng lalu segera mendorong sosok Kamala. Dia menjerit dan mencengkeram leher wanita itu sekuat tenaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sumpah Tujuh Gunung
HorrorTur tujuh gunung pangka jampi Pusering tujuh talaga Angen tujuh leuweung Tujuh guriang panggen kuring Berikan sumpah kalian, Wahai Para Guriang! Tunduklah kepadaku! Kamala, dalam balutan dendam kesumat mengucapkan sumpah ketika dirinya dikubur...