Ketika memasuki kamar Santika, Asti melihat anaknya tengah termenung di depan meja rias. Tangannya terus menyisiri rambut, tetapi pandangannya terlihat kosong. Asti mendekat lalu membelai rambut Santika.
“Tika, ayo makan, Nak. Ibu membawakan makanan kesukaanmu.” Asti menunjuk nampan berisi sepiring makanan.
Santika tetap bergeming meski ibunya mengambil alih sisirnya. Asti menyisiri rambut Santika hingga terlihat rapi. Dipandangnya bayangan anaknya di cermin, cantik dan anggun. Menurutnya, Santika adalah gadis tercantik di desa ini. Hanya saja, dia terlalu layu untuk mekar membuktikan diri.
“Tika, Nak ….”
“Bu, aku ingin keluar rumah.”
Asti terperenyak. Santika menatapnya dengan memohon.
“Apa ibu juga menganggapku gila?”
Asti menggeleng-geleng. “Tidak, Nak. Tidak.”
“Lalu? Kenapa Ibu mengurungku?”
“Ibu tidak mengurungmu. Kau hanya sedang sakit, dan Ibu perlu merawatmu.”
Santika kembali menatap bayangannya di cermin. “Yang kurasakan, di sini tak ada lagi kasih sayang untukku, Bu. Sejak hari itu, tiga tahun yang lalu, kalian semua berubah.”
Asti ingin membantah, tetapi kata-katanya tersekat di tenggorokan. Dia menunduk sambil meremas-remas tangannya. Sedikit banyak, perkataan Santika benar. Keluarganya memang telah berubah sejak tiga tahun lalu.
“Santika, dengarkan Ibu. Ibu akan terus membelamu. Ibu akan terus berpihak padamu.”
“Kalau begitu, bunuhlah Darma untukku, Bu.”
Perkataan Santika membuat Asti membelalak. Dia memegang bahu Santika lalu memutar tubuhnya hingga mereka berhadapan. Lekat-lekat ditatapnya mata anaknya yang terlihat sayu. Rundungan kesedihan sejak tiga tahun lalu sepertinya tak pernah lesap bersama waktu.
“Santika, kita sudah membicarakan ini dari awal. Kau boleh melakukan apa saja semaumu, tetapi ayahmu tak akan mengizinkanmu menyentuh Darma.”
“Tapi dia menyentuhku, Bu. Dia yang memperkosaku, Bu. Dia yang menghancurkan segalanya. Dia ….”
“Santika!” Suara Asti bergetar ketika Santika mengingatkannya kembali akan dosa yang telah coba dihapuskan.
“Jangan pernah mengungkit-ungkit itu lagi! Tidak kepadaku, apalagi kepada ayahmu.”
Santika menunduk, perlahan mengangguk-angguk, lalu tertawa terbahak-bahak. Tawanya membuat Asti merinding hingga segera melepaskan tangannya dari bahu Santika.
“Berhenti tertawa, Santika!”
“Jika Ibu tak dapat membunuh Darma, bisakah Ibu membangkitkan Hardi untukku, Bu?”
“Tika!” bentak Asti ketika melihat Santika makin tak waras.
“Ya, Bu. Tak apa jika Darma tak Ibu bunuh, tapi tolong bangkitkan Hardi untukku, Bu.” Santika meneteskan air matanya. “Aku menyesal telah membunuhnya, Bu. Aku ingin dia kembali hidup, dan mencintaiku.”
“Santika! Ya Gusti nu Agung ….” Asti menggeleng-geleng. “Orang mati tak mungkin bisa bangkit kembali. Jangan gila, Tika!”
“Aku dapat mengabulkan keinginan anakmu.” Tiba-tiba sebuah suara menyela pembicaraan mereka.
Asti dan Santika menoleh ke pintu masuk. Terlihat Nyai Bayan berdiri dengan tongkat hitamnya. Bibirnya tersenyum, tetapi senyum itu terlihat mengerikan karena bekas luka yang membelah sudut bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sumpah Tujuh Gunung
УжасыTur tujuh gunung pangka jampi Pusering tujuh talaga Angen tujuh leuweung Tujuh guriang panggen kuring Berikan sumpah kalian, Wahai Para Guriang! Tunduklah kepadaku! Kamala, dalam balutan dendam kesumat mengucapkan sumpah ketika dirinya dikubur...