Matahari telah menanjak tinggi ketika permakaman Sulastri selesai. Isak tangis terdengar dari pihak keluarganya yang datang dari desa sebelah. Akan tetapi, dari pihak keluarga Juragan Hadiningrat hanya Asti dan Darma yang hadir di permakaman tersebut.
Darma menaburkan bunga terakhir lalu beranjak menghampiri ibunya. Tak banyak kata-kata, mereka masih amat syok dengan kematian Sulastri. Kematiannya tragis dan sangat aneh. Pelaku seolah-olah tahu seluk-beluk rumah Darma hingga berhasil masuk dan keluar tanpa ada yang mencurigai.
Berkali-kali Darma berpikir, apakah mungkin ada hubungannya antara pertunjukkan jaipong dan pembunuhan Sulastri tersebut. Jika saja Darma mengikuti Sulastri dan membujuknya, tentu istrinya tak kan mati mengenaskan seperti ini. Namun, untuk menuduh hal-hal yang belum terbukti, Darma tak bisa sembarangan. Terlebih, gadis bernama Laksmi itu.
“Keluarga kita sepertinya selalu dirundung ujian selalu.” Asti mendesah sambil memasuki mobil Jeep.
Darma menyalakan mobil kemudian menekan pedal gas, meninggalkan pemakaman. Dia mengembuskan napas beberapa kali dengan pikiran terus memikirkan kematian Sulastri.
“Bu, hari itu, aku dan Ayah dicegat oleh seorang wanita tua.”
“Wanita tua? Siapa?”
Darma menggeleng. “Aku tak tahu, Bu. Tapi dia berbicara kepada Ayah bahwa keluarga kita tengah dalam cekalan dendam wanita yang mati.”
Asti membelalak. Dia meremas-remas ujung selendang kuningnya sambil berpikir sesuatu. “Apa … apa mungkin, ini ulah Kamala?”
Darma tertegun sejenak, tetapi serta merta menggeleng tak percaya. “Orang yang mati mana mungkin hidup lagi.”
“Bagaimana jika dia menjadi hantu dan membunuh setiap orang yang bersangkut paut dengan kematiannya.”
“Ibu … Sulastri tak ada sangkut paut apa pun. Dia tetap mati juga. Alasan Ibu sangat konyol,” sergah Darma.
“Tapi Sulastri adalah istrimu, Darma. Dia ….”
“Sudahlah, Bu! Wanita yang mati karena kita bunuh bukan Kamala saja, kan? Dulu Ayah juga pernah membunuh seorang wanita juga.”
“Darma!” Asti memelototi anaknya. “Jangan kau ungkap lagi masalah itu.”
Darma terkekeh-kekeh. Kejadian itu bertahun-tahun lalu ketika dia berumur 10 tahun. Di depan matanya sendiri, ayahnya membunuh seorang pesinden wanita yang menolak melayaninya. Darma bahkan mengikuti centeng-centeng ayahnya yang membuang mayat wanita itu ke sungai. Hingga hari ini, rahasia itu amat terjaga.
“Sebenarnya siapa wanita itu, Bu? Meski waktu itu aku masih kecil, aku dapat melihat bagaimana Ayah sangat menyukainya.”
“Kau!”
Darma terkekeh-kekeh membuat ibunya melengos dengan tatapan mata sedingin angin.
“Dia hanya perempuan sundal yang berniat menggoda ayahmu.”
“Semua pesinden Ibu anggap sundal, bukan?”
Asti menghela napas dan mengembuskannya perlahan-lahan. “Dia … Sarlinah. Ibunda Kamala.”
Darma terperenyak. Senyumnya yang semula terkembang perlahan-lahan menguncup. Dia merasakan kemirisan untuk nasibnya dan ayahnya. Mereka sama-sama tak mendapatkan cinta dari dua perempuan yang masih satu darah.
“Itu kenapa dulu Ibu tak mengizinkanku menikahi Kamala?”
“Ya. Aku benci wajahnya yang mengingatkanku kepada Sarlinah. Jika Santika tak membunuhnya, barangkali aku yang akan bergerak merusak wajahnya.” Bara dalam dada Asti makin merebak ketika mengingat tatapan suaminya saat melihat Kamala. Tentu saja, pria itu pasti mengingat Sarlinah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sumpah Tujuh Gunung
HorrorTur tujuh gunung pangka jampi Pusering tujuh talaga Angen tujuh leuweung Tujuh guriang panggen kuring Berikan sumpah kalian, Wahai Para Guriang! Tunduklah kepadaku! Kamala, dalam balutan dendam kesumat mengucapkan sumpah ketika dirinya dikubur...