Ladang yang semula bagai permadani hijau, membentang di bawah kaki Gunung Kendang, kini berubah menjadi lautan darah. Tak hanya itu, tikus-tikus yang menyerang amat sulit ditangkap, seolah-olah mempunyai keahlian khusus menghilang ke dalam tanah.
Juragan Hadiningrat hampir memuntahkan isi perutnya saat bau amis dan busuk terhidu. Lekas dia berbalik dan kembali memasuki mobil Jeep.
Sama halnya dengan sang ayah, Darma bergegas memasuki mobil setelah sebelumnya muntah karena tak tahan bau busuk yang menguar.
"Apa yang harus kita lakukan, Ayah?" tanya Darma sambil mengembuskan napas dengan kasar. Di luar mobil, centeng-centeng ayahnya pun memilih menjauh dari ladang daripada harus berbaur dengan haru biru lalat-lalat yang mulai berdatangan.
Juragan Hadiningrat kembali menatap ladangnya yang dipenuhi darah. "Bakar semuanya!"
Darma membelalak. Namun, dia sendiri tahu, tak ada jalan keluar lagi selain membakar ladang tersebut. Setelah menitahkan pembakaran ladang kepada anak buahnya, Darma dan ayahnya bergegas pergi.
***
Desas-desus ladang Juragan Hadiningrat dikutuk membuat para warga desa tak berani keluar rumah. Kepercayaan warga terhadap hal-hal gaib masih amat lekat. Sebab itu pula, ketika Darma datang dan menawarkan pekerjaan untuk menghijaukan kembali lahan yang terpaksa dibakar, Warga desa memilih menolak dengan berbagai alasan.
"Bangsat!" Darma menggebrak meja hingga cangkir yang terisi kopi, jatuh dan mengotori lantai kayu.
"Sabar, Kang." Sulastri keluar dari kamar lalu mengelus pundak suaminya.
Darma baru saja menikahi Sulastri beberapa bulan lalu. Seharusnya mereka pergi ke kota untuk berbulan madu. Namun, masalah yang menimpa ayahnya pada akhirnya harus menghentikan rencana mereka.
Sulastri adalah kembang desa di desa sebelah. Perawakan anggun nan semampai disertai senyum manisnya berhasil memikat Darma. Tak butuh waktu lama, Darma dapat memboyongnya sebagai pengantin. Oleh karena itu, kebahagiaannya sedikit terganggu karena masalah ladang. Bagaimanapun, suatu saat, ladang ayahnya akan dimilikinya. J
adi, jika desas-desus ini terus bercokol, ladang itu hanya akan menjadi tanah gersang dan mati. "Kang, kenapa kita tak membuat sedekah bumi saja? Untuk buang sial." Sulastri mengambil cangkir yang baru lalu mengucurkan air kopi dari termos. Dia menyodorkannya ke hadapan sang suami.
"Sedekah bumi?" Darma merasa tercerahkan. "Benar. Orang-orang desa tolol itu akan kembali percaya jika kita membuat pesta syukuran sebagai buang sial. Mereka pasti mau bekerja kembali."
"Nah, itu maksudku, Kang. Menghadapi para penduduk tak perlu akang berkeras lidah. Akang cukup berikan hiburan untuk mereka, makanan yang enak, pasti mereka akan menurut."
Darma memandang Sulastri sambil tersenyum miring. "Selain cantik, kau juga pintar." Dia merogoh saku, mengeluarkan dompet, lalu mengeluarkan beberapa lembar lima ribuan. Diselipkannya uang-uang tersebut ke belahan dada istrinya.
Sulastri terkikik-kikik bahagia sambil mengambil uang suaminya.
Setelah mendapatkan jalan keluar masalah ladang, Darma bergegas keluar rumah dan segera menemui ayahnya yang berada di rumah sang gundik.
Tak dia sadari, sosok kelelawar yang hinggap, menggantung, di langit-langit serambi rumahnya membuka matanya yang merah lalu mengepakkan sayapnya terbang ke timur.
***
Nyai Sadimah menatap bayangannya di cermin. Wajahnya sudah menua, bahkan make up tak lagi dapat menutupi kerutan dan layunya sang wajah. Lebih dari itu, pikirannya yang dipenuhi mimpi aneh bertemu Kamala membuat tampilannya makin terlihat lebih tua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sumpah Tujuh Gunung
TerrorTur tujuh gunung pangka jampi Pusering tujuh talaga Angen tujuh leuweung Tujuh guriang panggen kuring Berikan sumpah kalian, Wahai Para Guriang! Tunduklah kepadaku! Kamala, dalam balutan dendam kesumat mengucapkan sumpah ketika dirinya dikubur...