"Brengsek, belom aja gue tonjok itu buaya satu. Kerjaannya hap sana hap sini. Besok-besok gue yang hap dia, anjing."
Sakha, Rama, Adnan dan Nathala memutuskan untuk makan siang di salah satu rumah makan nasi padang sehabis kelas atas usul Adnan. Sudah dua puluh menit Nathala gunakan untuk bercerita bagaimana hubungan ia dengan Satria terutama pada kejadian yang berlangsung di kafe kemari, sontak membuat Sakha misuh-misuh manakala ia tahu bahwa Nathala hampir terkena tamparan maut Satria. Kalau Nathala yang menampar Satria, dimaklumi oleh teman-temannya. Bahkan mungkin jika mereka ada di sana, mereka malah akan menyemangati Nathala untuk menampar Satria lebih keras.
Adnan manggut-manggut, "Gua setuju sama Sakha. Lagian kata gua juga dari awal lu jangan deket-deket dia."
"Nathala juga nggak tau kalo akhirnya begini, Nan," celetuk Rama.
"Ya iya, sih. Tapi, dari awal lu tau gimana Satria dan pengalaman buayanya, harusnya lu udah aware buat nggak naruh harapan di dia karena akhirnya cuma akan sakit hati gini," Adnan masih asik menyuap makanannya ke mulut.
"Gue agak setuju sama Adnan. Lo kenapa dari awal masih welcome si Satria, Nat?" tanya Rama.
Nathala mengangkat bahunya, "Gue nggak cuma welcome ke dia, tapi hampir ke semua orang yang mau temenan sama gue. Apalagi waktu itu keadaannya dia about to me my partner di siaran radio jadi gue asik-asik aja. Sampe sebelum beberapa bulan lalu dia keluar, dia bertingkah seolah-olah ngasih gue harapan lebih dan celah buat masuk ke hatinya. Turns out, dia cuma mau manfaatin gue. I was a fool."
"Kalo dipikir-pikir, ini nggak sepenuhnya salah Nathala buat welcome ke Satria tapi emang tuh cowok aja brengsek. Suka gonta-ganti sono-sini berasa Leonardo D'Caprio versi lokal," Sakha yang masih tak terima terus-terusan mencibir Satria dengan nada yang sewot dan menggebu-gebu.
"Ya udahlah, nasi udah jadi bubur juga," Rama berkata. "Sekarang lo mau gimana, Nat?"
"Nggak gimana-gimana. Untung tadi ada cowok yang nahan tangannya Satria biar nggak nampar gue, kalo nggak bisa-bisa gue perang ketiga sama tuh orang di kafe." Nathala mengaduk minumannya menggunakan sedotan.
Sakha yang tertarik langsung mencondongkan tubuhnya seraya tersenyum tengil, "Gila gila. Ganteng nggak? Kali aja bisa lo deketin."
"Ganteng, sih. Tapi, nggak deh. Gue masih belum mau ngambil resiko lagi buat patah hati walaupun gue nggak tau itu cowok orangnya gimana, one thing for sure, I know he is a good person. Lembut gitu orangnya tapi nggak dibuat-buat. Padahal badannya bisa aja nyama-nyamain petinju di tv-tv."
"Cailah, gas aja kata gua mah. Mubazir gitu masa yang cakep baek begitu kagak mau lu deketin giliran yang brengsek kayak si oknum S mau-mau aja lu sampe berkorban mati," celetuk Adnan.
"Yeeeee, nggak sampe berkorban mati juga. Ogah banget. Gue mau ngejaga perasaan gue dulu aja biar nggak berharap mulu, capek. Lagian gue baru ketemu dia hari ini." Nathala menyeruput minuman yang ada di depannya.
"Kata orang, pertemuan yang nggak disengaja justru bisa aja pertemuan sama jodoh tau, Nat!" ujar Rama semangat.
"Jodoh dari mana anjir, ini anak aja baru hampir mau ditabok sama si Satria. Gue yakin tuh buaya besok-besok kalo nyesel juga bakal balik lagi ke Nathala. Gue jamin! Pegang omongan gue," Sakha menggebrak meja pelan karena sudah menahan-nahan agar tidak menghampiri Satria dan menampar laki-laki itu sekarang juga.
"Gila! Jangan sampe dia balik lagi. Ogah gue."
ㅡ
Di hari Jumat jadwal Nathala dapat dikatakan cukup longgar, tidak sepadat hari-hari lain. Hanya ada satu kelas di sore hari nanti jadi biasanya Nathala hanya nongkrong-nongkrong atau tidur di kosnya seraya mengerjakan tugas hingga sore. Terkdang laki-laki itu juga menjelajah tempat-tempat makan rekomendasi temannya yang patut untuk dicoba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta, Lost Soul.
FanfictionNOMIN ╱ JENO JAEMIN Awalnya Arash hanya iseng mendengarkan Sanctuary Radio yang disuarakan lewat seonggok radio lama milik sang Ayah pada seluruh penjuru Jakarta, kota sibuk yang tidak kenal istirahat bersama dengan penyiar radio yang ia kenal berna...