In the span of one month, Nathala dan Arash sama-sama sibuk mengerjakan urusan kuliah. Ditambah dengan Nathala yang juga disibukan dengan keperluan kepanitiaan yang mengharuskan dirinya beberapa kali bolak-balik kampus untuk memastikan beberapa hal berjalan dengan baik. Arash juga tak kalah sibuk, laki-laki itu mengejar ketertinggalan materi serta mulai mencari-cari perusahaan untuk magang. Karena itu, keduanya menjadi jarang bertemu, walau sesekali pulang bersama saat tidak sengaja berpapasan di kampus atau setelah berjanjian untuk mengerjakan tugas bersama-sama.
Pihak kampus serta para dosen juga sudah mulai mengingatkan mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir tersebut untuk lebih fokus agar tidak mengalami keterlambatan dalam kelulusan.
"Satria nggak ada hubungin lu lagi, Nat?" tanya Adnan.
Hari ini, keempatnya—Nathala, Adnan, Rama, dan Sakha—memiliki janji untuk makan siang bersama di kantin fakultas Rama. Sudah lama juga mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Jadi, sesekali keempatnya memaksakan untuk menjadwalkan bertemu walau terkadang, hanya sekedar makan siang di kantin kampus. Tapi, itu tidak menjadi masalah. Karena di luar jam kampus, sulit sekali untuk mencocokan jadwal antar satu dengan yang lain.
"Nggak sih," jawab Nathala sambil mengaduk soto yang berada dalam mangkuk. Kebetulan Rama sama Sakha sedang memilih menu makan siang mereka, maka dari itu Adnan dan Nathala bersantai seraya menunggu kedua temannya. Karena jika ada dua manusia toa tersebut sudah dipastikan mereka tidak akan bisa diam apalagi topik yang diangkat cukup sensitif.
"Gua kepikiran terus anjir. Lu 'kan, tau si Satria anaknya nekat apalagi kalo masalah deketin anak orang begitu. Waktu itu lu aja sampe mau dihajar sama dia." Adnan membuang wajah, tak ingin Nathala melihat wajahnya yang kini dipenuhi gurat emosi karena mengingat tingkah laku Satria.
"Santai kali, Nan. Gue bisa jaga diri. Beneran deh serius. Mending lo urus diri lo. Tuh kejar Rama, jangan lepasin. Galak-galak gitu dia sebenernya sayang banget sama orang yang peduli ke dia." Nathala menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya, sedangkan Adnan mendelik terkejut.
"Lu ... tau?"
"Tau atau nggak tau, lo keliatan banget mau deketin dia. Kita temenan berapa tahun sih, Nan? Dari jaman ospek bareng sampe udah mau lulus gini. Gue udah tau sifat sama tingkah laku lo," jawab Nathala tenang.
"Kata gua lu bukan anak ilkom tapi anak dukun dah, Nat," komentar Adnan seraya bergidik ngeri. Laki-laki itu tidak tahu bahwa Nathala adalah orang yang sangat peka terhadap sekitar. Bahkan Sakha yang notabenenya lebih sering pergi bersama Adnan dan Rama ketimbang Nathala-karena kesibukan laki-laki itu dalam siaran radio serta segala tetek-bengeknya-saja tidak tahu menahu mengenai Adnan yang berada dalam misi mendekatkan diri kepada Rama. "Serem lu."
Nathala ketawa, "Nggak nyambung, nyet. Lagian lo juga bodoh sih. Kalo jalan ya berdua aja jangan ajak Sakha. Bukan gimana-gimana tapi ya namanya nge-date ya berdua, bukan bertiga, yang ada lo digangguin sama Sakha 'kan."
"Iya sih," tutur Adnan murung.
"Weits ngapa nih suram bae, Bang," celetuk Sakha dengan semangkuk bakso di tangannya bersama Rama yang berjalan di belakang laki-laki itu. Laki-laki mungil yang tengah menaruh piring berisi makanan itu duduk di sebelah Adnan sedangkan Sakha duduk di sebelah Nathala.
"Lagi nyari loker kali tuh," balas Rama asal yang sontak membuat Sakha terkejut.
"Lah????? Gue kira lo nggak akan kerja nyambi kuliah. Ternyata nyari loker juga. Gue ada nih dari temen, mau nggak?" tawar Sakha.
"Apaan anjir kagak. Rama nih asal nyeletuk doang. Kagak lagi nyari loker gua," jawab Adnan.
"Terus nyari apaan, Nan?" tanya Sakha lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta, Lost Soul.
FanfictionNOMIN ╱ JENO JAEMIN Awalnya Arash hanya iseng mendengarkan Sanctuary Radio yang disuarakan lewat seonggok radio lama milik sang Ayah pada seluruh penjuru Jakarta, kota sibuk yang tidak kenal istirahat bersama dengan penyiar radio yang ia kenal berna...