Sehabis kelas, Nathala langsung pergi menuju Kantin Teknik—sesuai apa yang tadi ia janjikan pada Arash dan ia tidak ingin membuat laki-laki itu menunggu lebih lama lagi karena sekarang, jam telah menunjukkan pukul tujuh malam. Nathala mengedarkan pandangan ke seluruh area kantin sebelum mendengar suara klakson dengan suara Arash yang memanggil-manggil namanya dari jauh.
Nathala menoleh lalu menghampiri laki-laki itu, "Hai. Sori, lama. Tadi dosennya agak ngaret jadi, ya ..."
"That's okay, gua juga belom lama-lama amat, tadi ketemuan sama temen. Sini masuk dulu. Kayaknya bentar lagi hujan, tuh, udah mendung," ujar Arash bermaksud menyuruh Nathala untuk masuk mobil agar tidak kehujanan melihat bagaimana petir menghiasi langit malam hari ini. "Ini punya lu. Udah semua?" Arash memberikan beberapa lembar kertas yang dijadikan satu dalam file.
Nathala mengambil file dari tangan Arash dan memeriksa satu-persatu sebelum keluar dari area kampus—kalau-kalau masih ada yang terlupa atau ketinggalan untuk dicetak. "Udah semua, kok. Makasih banyak, ya, Rash. Sori ngerepotin terus."
"Jangan sori-sori mululah. Kayak lagi dihukum guru aja," Arash terkekeh kecil. "Btw, udah mau hujan, nih. Lu mau balik sekarang atau gimana?"
"Iya, tadi itu kelas terakhir hari ini. Kayaknya gue naik angkot atau taksi aja. Udah mau hujan nggak mungkin pesen ojol." Nathala menimang-nimang.
"Mau bareng gua aja? Nggak usah naik angkot atau taksi apalagi ojol. Nanti kehujanan."
"Eh, janganlah—"
"Kalo lu mau bilang nanti lu repotin gua mulu, nggak, Nathala. Gua justru malah was-was kalo biarin anak orang pulang sendiri hujan-hujan gini. Mending pulang sama gua aja jadi gua bisa mastiin kalo lu pulang dengan selamat juga, ya?" bujuk Arash.
Nathala melihat ke luar jendela sejenak. Rintik-rintik hujan mulai turun lalu semakin lama semakin deras diiringi petir yang terdengar menggelegar. Ia semakin bingung, kalaupun menunggu angkot pasti tidak akan ada yang lewat mengingat cuaca seperti ini sangat berbahaya lalu jika ingin naik taksi itu artinya ia harus menunggu lagi. Jadi, mungkin jalan terakhir memang balik dengan Arash walaupun harus menepis rasa tidak enaknya.
"Ini ... beneran gue nggak repotin lo, 'kan?" tanya Nathala memastikan.
"Nggak kok. Santai aja, yuk?"
"Yaudah deh ... ayo."
Akhirnya Arash benar-benar mengantarkan Nathala hingga gedung indekosnya. Letaknya tidak begitu jauh dari kampus jadi tidak memakan waktu lama. Karena hujannya cukup deras dan membuat genangan air juga banjir di beberapa daerah, Nathala menawarkan Arash untuk singgah sebentar di indekosnya. Maka di sinilah ia sekarang, terjebak bersama Nathala sembari menunggu hujan reda.
"Kayaknya hujannya awet deh. Ada mobil yang kegelincir nih. Gue beneran gapapa nunggu di sini?" tanya Arash menoleh ke arah Nathala.
"Nggak apa-apa kok. Ngeri juga jalanan lagi licin hujan gini. Masa gue udah dianterin nggak tau diri nyuruh lo pulang padahal lagi bahaya hujan deres."
Arash tersenyum tipis, "Lu nggak nyiar radio hari ini?"
Nathala menggeleng, "Kalo Jumat, Sabtu, Minggu 'kan, emang nggak ada siaran. Lo nggak tau?"
Arash menegang. Bisa-bisa kebohongannya waktu itu terbongkar—mengenai ia yang mengaku sering mendengarkan radio dengan Nathala sebagai penyiarnya padahal ia baru mendengarkan siaran radio tersebut sekali, "Oh, ya ... anu-gua kadang kalo weekend suka nugas malem-malem jadi ... nggak sempet dengerin radio ..."
"Oalah, iya juga sih. Kadang dosen kalo ngasih tugas tuh suka nggak ngotak. Apalagi lo anak Arsi pasti lebih pusing, ya." Nathala hanya mengangguk-ngangguk, cukup membuat Arash merasa lega karena laki-laki itu tidak menaruh curiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta, Lost Soul.
FanfictionNOMIN ╱ JENO JAEMIN Awalnya Arash hanya iseng mendengarkan Sanctuary Radio yang disuarakan lewat seonggok radio lama milik sang Ayah pada seluruh penjuru Jakarta, kota sibuk yang tidak kenal istirahat bersama dengan penyiar radio yang ia kenal berna...