#8: In the Middle of the Rain

1.5K 307 29
                                    

Di hari Senin, Arash sudah nongkrong di warung yang terletak di dekat kantin Fakultas Ekonomi bersama Kavi dan Akmal. Membahas tentang cover yang ingin mereka buat kemarin. Namun, karena tertunda dan baru dapat dibahas pagi ini, ketiganya memilih untuk berkumpul di FE karena Kavi kebetulan adalah mahasiswa ekonomi.   

"Di studio gua aja. Tapi nanti rada siangan soalnya abang gua ada tugas bikin lagu. Biasalah," usul Kavi.

Akmal hanya mengangguk. Ia bagian terima jadi, "Okelah. Tapi abis itu urang langsung pulang, yah. Si Bunda lagi bawel pisan, lieur euy." tuturnya.

"Mau punya adek kali lu." komentar Kavi.

"Sembarangan! Ntar adek urang baru masuk sekolah, urang na geus bangkotan kumaha?"

"Derita."

"Anying."

"Bapak Riga diem aja nih bos," Kavi menyenggol-nyenggol lengan Arash sedang sang empu tengah memfokuskan pandang ke arah lain sembari sesekali menyesap kopi susu yang ia pesan. "Woi! Kesambet kali nih lu. Apa budek?"

"Berisik banget lu, Vi. Diem dulu. Gua lagi liatin itu kakek-kakek lagi nyebrang. Takut ketabrak," balas Arash.

"Arash's behavior." Kavi mengangkat kedua bahunya, sudah biasa menghadapi kelakuan salah satu temannya itu. Bila dipikir dengan akal sehat, orang lain pasti menganggap Arash aneh. Namun, ini adalah salah satu bentuk kepedulian Arash. Kalau kata Akmal, Arash adalah tipe laki-laki yang lebih suka menyimpan kagum dari jauh tanpa mengatakan kepada orangnya. Dia tidak akan melewati batas rasa kagumnya hingga rasa itu meledak sendiri dalam dirinya.

Dan Arash juga tidak menyangkal. Namun, tidak sepenuhnya setuju. Karena bagaimanapun, rasa suka akan berubah menjadi rasa sayang dan rasa ingin memiliki seseorang. Arash juga mempunyai rasa itu—yang mungkin, akan ia rasakan di masa depan nanti. Tentang kapan dan bagaimana, Arash pun tidak tahu. Ia hanya bisa berdoa semoga dia tidak jatuh pada orang yang salah.

Tak lama kemudian, ponsel Arash berbunyi. Menampilkan panggilan dari seseorang. Dengan cepat Arash mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?"

"Halo ... Arash. Soriii banget ganggu, ya?"

"Nggak kok, Nat. Kenapa?"

"Anu—uh. Tadi pagi Papa nganterin makanan dan sekalian suruh bawain makanan buat lo. Nggak tau juga dalam rangka apa tapi katanya suruh dikasih ke Arash gitu. Gue mau kasih ke lo ini tapi nggak tau lo nya di mana."

"Gua di warung deket kantin FE, Nat. Kayaknya lumayan jauh dari fakultas lu. Nanti gua aja yang ambil deh."

"Ih janganlah. Gue aja yang kesana. Deket kok ini gue juga lagi mampir di FT jadinya nggak jauh-jauh amat ke FE. See ya, Arash!"

"Hati-hati, Nathala."

Belum sempat Arash menyelesaikan kalimatnya, panggilan dari Nathala sudah dimatikan secara sepihak. Setelah kegiatan telpon itu, kini netra kedua temannya tertuju pada Arash dengan tatapan aneh dicampur dengan curiga. Arash spontan menghela napas seraya menaruh ponselnya kembali ke atas meja.

Jakarta, Lost Soul.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang