#7: Lost His Way

1.5K 331 26
                                    

⚠️ TW // family issues, minor character death, mentioning car accident, infidelity

Arash dulunya adalah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa mengenai dunia luar. Karena ia bukanlah anak kecil yang mudah akrab dengan orang lain, jadi ia lebih banyak menghabiskan waktu berdiam di kamarnya. Seringkali beberapa waktu Arash mendengar pertengkaran kedua orang tuanya.

Awalnya Arash kira gaduh yang diciptakan kedua orang tuanya hanyalah perdebatan kecil yang tidak serius. Tetapi semakin lama rasanya semakin memuakkan. Apalagi setelah Arash beranjak remaja dan mulai mengerti tentang dunia dan lingkungan yang berada di sekelilingnya. Arash kehilangan arah. Ia tidak tahu bahwa di umurnya yang masih sangat muda, ia udah harus beradaptasi dengan lingkungan yang berubah begitu cepat dalam kurun waktu beberapa tahun.

Laki-laki bermata sipit itu tidak tahu ia harus ke mana. Papanya sibuk bekerja, Papinya pun sibuk mencari pelarian karena terlalu frustasi berdiam diri di rumah dan selalu bertengkar setiap bertemu dengan sang Papa. Maka dari itu, Arash lebih sering sendiri. Menghabiskan waktunya di depan buku yang sudah menjadi distraksinya selama bertahun-tahun.

Namun pagi itu, Arash tiba-tiba tergerak untuk mengintip sedikit ke arah kamar orang tuanya yang lagi-lagi sedang bertengkar. Melihat bagaimana Papinya menampar pipi sang Papa membuat Arash marah. Bagaimanapun, pria itu adalah orang tuanya walaupun terkadang Papa lebih jarang peduli padanya ketimbang Papi. Arash tidak mengerti mengapa orang dewasa yang menikah harus bertengkar setiap hari. Terkadang, ia bertanya kepada temannya.

Apa orang dewasa itu kejam? Apa menjadi orang dewasa sangat menakutkan?

Si kecil Arash tidak pernah mengerti.

"Aku kerja capek-capek dan kamu enak di luar sana ke sana ke mari sama temenmu bahkan seorang cowok? Kamu nggak mikir perasaanku?"

"Aku muak! Kamu selalu mojokkin aku di saat aku nggak pernah ngelakuin hal salah. Aku cuma mencoba buat cari pelarian. Aku capek, aku marah, aku kesel sama kamu, sama semuanya. Aku mau kabur dari hidupku tapi aku nggak bisa! Aku masih punya Arash dan aku nggak mau dia jadi anak yang kehilangan arah saat dewasa dan jadi anak kecil yang nggak penuh oleh kasih sayang orang tuanya. Do you ever just think about our child once rather than keep talking shit about me?!"

"Arash nggak pernah mau punya Papi kayak kamu! Dia nggak butuh. Kamu pergi aja sama temen cowokmu itu. Aku nggak akan larang kamu lagi. Terserah. Aku juga muak. Kita cerai."

Satu hal yang Arash pelajari hari itu, menjadi orang dewasa memang menyeramkan dan waktu adalah hal yang paling ia benci.

Dalam hitungan menit, semesta bisa membolak-balikkan dunianya. Secepat itu tanpa jeda bagi Arash untuk mencerna. Papi Arash yang pada siang hari itu mengemudi mobil dalam kecepatan tinggi dan mengalami kecelakaan, divonis terkena tumor otak. Arash dan Papanya tidak tahu sejak kapan sang Papi menyembunyikan hal itu, yang jelas tumor otak yang berada dalam Papinya menyebabkan kecelakaan yang seharusnya masih bisa diselamatkan, berubah menjadi suatu mimpi buruk. Beberapa menit setelah kecelakaan, Papinya meninggal. Mungkin lebih tepatnya, meninggalkan Arash dalam keadaan bersalah yang hingga kini Arash masih mencoba untuk memaafkan dirinya sendiri—sayangnya, ia tidak bisa. Ia akan selalu dibayang-bayangi oleh rasa bersalahnya.

Bahu sang lelaki bergetar. Arash tidak pernah tahu bahwa rasa sakit yang sudah ia pendam sedalam dan selama ini bisa menjadi suatu bom yang dapat meledak kapan saja. Tetapi Arash tidak pernah menyangka kalau bom itu akan meledak hari ini, sekarang.

"Papi ... I'm sorry. I didn't meant to ..." gumamnya. "Maaf, maaf, maaf. Arash salah. Maaf. Arash nggak benci Papi lagi. Arash nggak mau benci Papi. Arash nggak mau ... Arash nggak akan benci Papi lagi. Maaf. Arash nggak sengaja. Maaf, Papi ... Maaf."

Jakarta, Lost Soul.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang