#11: The Wishes

1.2K 275 40
                                    

⚠️ Mention of bullying

One week have passed. Bulan kali ini benar-benar Nathala habiskan untuk mendesikasikan diri pada urusan kepanitiaan dan magang sebelum waktu magangnya selesai. Namun ia tetap menyempatkan untuk sesekali kembali ke rumah saat weekend. Mengingat keluarganya yang seringkali memaksa Nathala untuk pulang karena rindu dengan sang Kakak. 

"Kak Nana udah balik?"

Nathala yang sedang menyaksikan drama di laptopnya sontak terkejut akibat suara yang berasal dari pintu kamarnya tersebut. Kepala milik Januar menyembul di sela-sela pintu sedang tatapannya terlihat begitu melas, Nathala sampai berusaha untuk menahan tawa karena ekspresi wajah sang adik.

"Sini," sosok yang lebih tua menyuruh Januar untuk menghampiri kakaknya tersebut. "Dih, tinggi banget sih. Kemaren kamu lebih pendek dari aku, cuma sebahu eh sekarang kamu kayak tiang."

"Kak Nana tumbuhnya ke samping."

"Heh!" Nathala memukul lengan Januar pelan, "Kenapa adikku yang paling ganteng sejagat raya ini tiba-tiba sedih? Abis diputusin sama cewek yaaaaa? Aku aduin Papa masih kecil udah pacar-pacaran."

"Enak aja! Aku nggak pacaran dan aku udah SMA ya! Bukan anak kecil lagi," sewot Januar sontak membuat Nathala tertawa geli. "Kok Kakak nggak bareng Kak Arash itu? Jujur aja sama aku, Kak Nana tuh pacaran 'kan, sama dia? Kalo nggak mana mungkin sampe dibawa ke rumah malem-malem kayak waktu itu. Kata aku jangan mau deh sama dia. Mukanya mirip preman pasar gitu."

"Hush, mulutnya jahat banget sih." Nathala mencubit bibir Januar. "Kak Arash baik kok. Walaupun mukanya sangar tapi dia nggak pernah kasar sama orang. Dia aja sering nebengin kakak kalo lagi hujan atau ngajak makan kalo kakak belum makan," ujar sang kakak memberi pengertian.

"Ya itu namanya modus!"

"Kamu kayak orang cemburu deh." Nathala terkekeh.

"Apasih, nggak."

"Idiiiiih bohongnya nggak jago! Keliatan gitu kok kamu cemburu ya aku deket-deket sama Kak Arash?"

"Ngapain juga cemburu?!"

"Siapa tau kamu naksir dia."

"DIH! Enak aja!!!! Nggak lah. Aku masih normal! Aku sukanya sama yang gemes-gemes bukan yang kayak begal motor!"

"Heh, aduh." Nathala tertawa, "Janu, kakakmu ini udah gede. Walaupun kamu lebih gede dan tinggi tapi aku bisa jaga diri kok. Kalo ada yang jahatin aku pasti aku pukul terus aku tendang kakinya. Lagian nggak ada juga yang bakal berani sama aku. Kamu nggak liat aku segalak dan seganas apa?!"

"Mana ada ganas tapi case laptopnya snowball."

"Heh, snowball itu lucu, ya!"

Bukan apa-apa. Tapi kekhawatiran Januar ini berdasar. Sejak kecil di mana ia sudah bisa sekolah dan sering pergi ke sekolah bersama kakaknya, tidak jarang Januar melihat Nathala dikucilkan. Walaupun mungkin kini laki-laki itu sudah lupa, Januar yakin luka yang disebabkan oleh perundungan itu akan selalu ada. Karena Nathala tidak pernah membalas atau melawan melainkan hanya terdiam. Januar hanya tidak ingin kakaknya disakiti lagi. Ia juga benci melihat kakaknya menangis di malam hari karena tugasnya belum selesai dan malah mengerjakan tugas orang yang mengucilkan kakaknya.

Nathala yang Januar kenal adalah orang yang percaya diri, terlihat keren, terlihat bisa berdiri di atas kakinya sendiri padahal laki-laki itu juga bisa goyah dan jatuh. Nathala tetap manusia biasa yang bisa merasakan lelah, namun masih berusaha untuk terlihat baik-baik saja di hadapan semua orang. Januar benci itu. Januar selalu benci fakta bahwa sekeras apapun Nathala mencoba untuk mengadu kepada guru konseling di sore hari itu, suaranya tidak pernah didengar. Hanya suara isak tangis dari salah satu bilik toilet sekolah yang diam-diam ia dengar.

Jakarta, Lost Soul.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang