07. About Our Friendship

16 8 0
                                    

Sembari menuangkan teh di gelas kami masing-masing , aku menunggu Anei untuk angkat suara tentang apa yang ingin ia ceritakan sebelumnya. Pandanganku tak beralih dari Anei dari awal dia meneguk segelas teh tersebut sampai ia benar-benar menghabiskannya.

"Jadi, Anei mau cerita tentang apa?" tanyaku sembari berpangku tangan.

"Hm, enggak penting-penting amat" ucapnya santai. "Minta remote televisinya dong Nal"

Aku mendecak kesal. "Ck, yang bener napa. Tadi katanya penting. Cerita dulu, entar habis itu bisa nonton" aku menolak memberikan remote televisi pada Anei.

Anei mendengus. Tersirat dari tingkah lakunya, ia tampak berat untuk mengatakannya padaku. Anei terlihat risau.

"Ada apa? Memangnya sesuatu yang gawat?"

"Hm..bukan gawat sih. Cuman gimana ya-" Anei terdiam sesaat. Wajahnya tampak semakin murung. "Tapi Nala jangan sedih. Habis Anei kasih tau tentang ini, Nala tetap harus senyum. Harus!"

"Iya iya. Memangnya ada apa sih?" aku kembali bertanya dengan nada santai.

"Anei bakalan pindah ke luar Indo"

Mataku terbelalak kaget. Aku menatap lurus ke depan dengan kaku sembari mencoba untuk tenang. Aku tidak ingin menunjukkan ekspresi yang membuat langkah Anei terhalang. Aku tidak ingin menjadi penghambat.

Kemudian aku tersenyum kecil dan mencoba menetralisir ekspresi kagetku. "Oh ya? Kenapa tiba-tiba?" ujarku dengan suara ringan.

"Anei mau berobat"

Aku manggut-manggut. "Oh, jadi rencanannya mau berangkat kapan Ney?" tanyaku sambil menyeruput tehku yang belum disentuh sama sekali.

"Mungkin lusa. Perginya bareng Ayah"

Aku menatap Anei khawatir. Wajar saja gadis itu kembali memulai pengobatan rutinnya setelah sempat berhenti beberapa bulan. Wajah gadis itu semakin pucat. Dan aku kemudian sadar bahwa hampir setiap hari Anei menggunakan segala jenis pakaian yang berlengan panjang sehingga menutupi kedua lengannya. Selain itu, dari semua siswi di sekolah kami, hanya Anei seorang yang memakai rok panjang. Aku tidak pernah menanyakan alasannya ia mengenakan pakaian yang berbeda. Mungkin karena aku sudah tahu penyebabnya.

Dari yang aku baca tentang penyakit Anei, anemia hemolitik, di mana sel darah merah dapat hancur dengan mudah. Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh kondisi ketika sel darah merah hancur sebelum waktunya. Pada keadaan awal, sumsum tulang belakang akan berusaha mengatasi kekurangan darah merah dengan menghasilkan sel darah merah dengan lebih cepat. Namun, jika kondisi hancurnya sel darah merah berlangsung terus-menerus, usaha kompensasi dari sumsum tulang akan gagal dan terjadilah anemia.

Mungkin beberapa gejala dari Anemia ini membuat Anei tidak percaya diri. Salah satunya kulit yang pucat, dan terdapat bercak - bercak luka pada kaki. Gadis itu sama sekali tidak pernah mengeluhkan setitik pun padaku tentang penyakitnya. Hal itu terkadang membuatku lupa kalau Anei memiliki riwayat penyakit yang juga cukup berbahaya.

"Ney, kamu pasti sembuhkan?"

Entah apa yang ada dalam pikiranku, bayang-bayang kematian tidak pernah tidak menghantui orang-orang terdekat atau orang yang aku sayangi. Mereka selalu timbul dalam pikiranku dengan tiba-tiba. Mereka dan momen-momen di mana acara pemakaman itu terjadi selalu membuatku kepikiran.

Anei tertawa pelan. Matanya yang teduh menatapku sayu. "Tenang aja kali Na. Ini mah anemia biasa. Gausah ketakutan gitu. Lihat itu muka kamu tiba-tiba pucat"

Aku tersenyum kaku. "Pu-pucat gimana. Biasa aja kok" aku menyanggah ucapan Anei sembari menangkup kedua pipiku.

"Terserah kalau engga percaya. Ngaca sono. hahahahahaha." tawa Anei semakin menjadi-jadi membuat aku merasa malu. Tapi bukankah wajar jika aku khawatir. Anei mungkin berpikir siswi tukang bolos sepertiku tidak tahu-menahu tentang jenis anemia yang ia derita. Aku tidak sebodoh itu, untuk dibohongi. Anemia hemolitik bukan anemia biasa. Ada saatnya penyakit itu menjadi lebih berat dan sulit diatasi.

Tapi setidaknya, mungkin dengan begini bisa membuat Anei tertawa di masa-masa kritisnya. Aku tahu dari hati yang paling dalam atau bahkan dari ekspresi gadis itu, dia berat untuk meninggalkan aku di sini. Rasanya senang menjadi orang yang berharga untuk Anei. Setidaknya aku masih punya alasan untuk tetap bertahan.

Tawa Anei perlahan mereda. Kemudian dia tersenyum lebar padaku. "Anei pasti baik-baik aja. Tapi kalau sembuh mungkin engga. Karena ini penyakit bawaan sejak bayi. Meski begitu, yang pasti aku bakalan tetap bertahan. Bareng Nala"

Sialnya, bagaimana cara menahan air mata ini agar tidak menampakkan dirinya. Mataku menatap Anei berbinar. Kemudian aku bangkit dari kursi kayu yang kududuki dan memeluk erat tubuh kurus Anei. Aku tidak bisa menahan tangisku. Membayangkan entah berapa lama Anei berada di luar jangkauanku, entah siapa yang akan menemaninya. Dan tentang entah bagaimana aku kembali melewati kesendirian di rumah usang ini.

"Jangan lama-lama Ney" lirihku. "Harus cepat-cepat balik, ya!"

Tangan dingin Anei mengusap punggungku sembari mengangguk. "Pasti."

"Tapi Ney...aku janji buat masak bareng sama kamu."

Anei menepuk jidatnya sembari terkekeh. "Haaa... iya juga. Kalau gitu kita tunda sampai aku balik ke sini lagi. Gapapa ya? Maaf Nal, malah jadi aku yang ingkar janji" ujar Anei.

"Ya udah gapapa. Aku tunggu di sini. Ya meskipun bakal ngebosenin sih." kataku seraya menghela nafas.

"Makanya berbaur sama temen di sekolah. Kamu sih bolos mulu ke taman." Mendapat nyinyiran dari Anei membuatku merasa dihujam seribu pisau.

"Gak ah." tolakku mentah-mentah. Semakin besar, rasanya semakin ingin jadi kepribadian yang antisosial. Bukan karena mau sok-sokan, tapi Aku memang tidak begitu menyukai lingkup pertemanan yang luas.

"Hih kenapa? Takut engga ada yang mau nemenin kamu?" Cibir Anei. Aku bergidik. Ucapan Anei semakin hari makin nusuk ke lawan bicaranya.

"Dih, bukan gitu. Emang akunya males banyak-banyak berteman Ney. Tulus enggaknya kita gak tahu. Jadi aku gak mau buang-buang waktu sama mereka" jawabku sarkas.

Anei menghela nafas seakan memahami maksud dari ucapanku. "Yang kamu bilang ada benarnya. Tapi coba aja berpikir cerdas deh. Setidaknya kamu punya orang-orang untuk diajak hepi-hepi. Kalau kamu lagi merasa down, tinggal datang ke aku. Jadi enggak ada yang kurang"

"Engga bisa gitu Ney. Aku tuh maunya berteman yang bisa diajak hepi-hepi sama diajak sedih. Satu penderitaan. Emang kedengarannya egois, tapi makna pertemanan yang baik itu ya begitu!" timpalku.

"Itu namanya bukan temen. Tapi sahabat" ucap Anei menekankan. "Kalau namanya teman, ya- yang penting bisa diajak senang-senang. Itu dulu yang pertama. Sahabat sama teman itu berbeda" lanjutnya.

Aku meletakkan daguku di meja. "Begitu ya. Kalau sebagai seorang sahabat, ada istilah saling merahasiakan ngga?" tanyaku dengan suara pelan lalu melirik Anei sekilas.

"Hm, engga juga. Mungkin kadang rahasia itu bisa jadi privasi. Tapi yang pasti sebagai sahabat, suatu saat kamu juga akan tahu dengan sendirinya. Mungkin.." jawab Anei.

"Oh.. kalau Anei. Apa lagi ngerahasiain sesuatu dari Nala?"

"Entahlah. Yang pasti ada saatnya Nala tau segalanya tentang aku. Anei gak tau kapan saatnya itu terjadi. Mungkin lusa atau lusanya lagi atau bulan depan bahkan tahun depan. Atau-"

"Ah, sudahlah. Apapun itu, nanti kamu pasti bakal kasih tau ke aku kan?" timpalku dengan yakin.

Anei terdiam sesaat tanpa ekspresi apapun. Namun kemudian dia mengangguk kuat sembari mengancungkan jempolnya. "Yap, benar 101 persen!"

Aku tersenyum tipis lalu memberikan remote televisi sesuai permintaan Anei di awal percakapan ini. Gadis itu menerimanya dengan senang dan memilih saluran yang diinginkannya.

Sembari bertopang dagu, aku menatap punggung kecil Anei dari belakang. Melihat sahabat kecilku itu menonton kartun dengan serius. Dia benar. Sebagai seorang sahabat, apapun rahasia di antara kami, suatu saat itu pasti terkuak dengan sendirinya.

Kunci saat ini aku hanya perlu bersabar untuk yang terbaik kedepannya. Untuk kami berdua agar bisa bertahan lebih lama.

SEMU  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang