Satu hari sebelum kepergian Anei ke luar negeri, aku kembali sore ini dengan secangkir kopi dan beberapa lembar roti tawar. Duduk di balkon kamarku dan menikmati saat-saat senja ditemani sinar matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat.
Angin sepoi-sepoi menyambutku dengan hangat. Burung-burung berterbangan ke sana-kemari dengan berkelompok. Sesekali mereka berkicau membuat suara-suara yang indah. Langit tampak menawan dengan semburat-semburat jingga di sana menghiasi sore ini dengan sempurna.
Aku mencelupkan roti tawar ke dalam segelas kopi, lalu memakannya. Menikmati lezatnya perpaduan ini dibandingkan dengan teh manis. Lalu kuambil pulpen dan sebuah notebook berukuran sedang. Menggambar apa saja yang sedang menggambarkan perasaanku saat ini.
Kemudian setelahnya menulis puisi atau rangkaian kata yang mungkin muncul dalam benakku sekarang. Yang kulakukan hanya mengikuti kegiatan yang sesuai dengan keinginanku saat ini. Aku menuangkan semua untaian kalimat yang terbesit — tentang semua yang menyangkut perasaanku.
Aku juga menulis tentang hal-hal apa saja yang aku dan Anei telah lalui bersama dalam kurang lebih tujuh belas tahun terakhir.
Setelah satu bait dituliskan, kembali aku mencelupkan selembar roti yang dilipat ke dalam secangkir kopi hangat. Lalu memakannya. Aku melakukannya berulang sampai semuanya habis dan hanya tersisa notebook dan pulpen yang menemani.
Kuperbaiki posisi dudukku lalu meregangkan leher yang terasa pegal. Menyandarkan kepalaku ke dinding yang ada di belakang dan menatap lurus ke depan. Pemandangan yang sudah biasa. Sebuah rumah bertingkat yang tepat berada di seberang balkon kamarku dan menghadap langsung ke jendela kamar rumah itu.
Berbagai pohon berukuran besar yang mengelilingi rumah-rumah di sini. Dan tumbuhan liar yang tumbuh di tembok-tembok rumah itu. Gorden usang yang menutupi jendela kamar rumah itu bergerak-gerak dibuat hembusan angin malam yang sejuk.
Aku menghabiskan kurang lebih satu jam duduk di balkon ini dan bertahan dengan melakukan kegiatan yang sama. Sampai hari mulai menjelang malam, aku bangkit untuk memutuskan kembali ke dalam kamar.
Lalu berjalan ke arah dapur dan merasa pusing melihat piring-piring yang berserakan. Dan pada akhirnya dengan setengah hati aku turun tangan untuk membersihkan rumah ini. Semuanya. Mengepel lantai, mencuci piring, mengangkat kain kering, mengelap jendela dan segala macam pekerjaan rumah lainnya.
Soreku hingga malam terasa padat diisi dengan kegiatan-kegiatan yang membosankan. Seluruh tubuhku berkeringat dan saatnya memutuskan untuk mandi. Tubuhku kembali merasa segar meskipun sesekali diserang rasa dingin.
Dengan tampang malas aku berjalan ke arah ruang tamu, menyalakan televisi. Lalu tidak menemukan satu acara-pun yang menarik untuk ditonton. Pada akhirnya setiap saluran dari televisi itu kuputar berulang kali sampai aku benar-benar muak.
Akhirnya aku mematikan televisi itu. Dan mengambil manga-manga yang hampir sudah semua kuhabiskan chapternya. Membacanya ulang dari awal dan begitu seterusnya sampai aku benar-benar mengantuk.
Ternyata membaca manga untuk kesekian kalinya tidak membuatku mengantuk. Mungkin ini juga pengaruh kopi yang sempat kuminum sore tadi. Rasa jenuh memenuhi atmosfer rumah ini. Melihat langit malam dan setelah memastikan bahwa tidak akan turun hujan, aku bergegas mengambil sweater dan melangkah ke luar rumah.
Sehabis memastikan rumah dalam keadaan terkunci, aku berjalan santai menuju taman di mana dulu aku dan Anei sering bermain bersama sambil melipat origami. Taman yang letaknya tidak jauh dari rumahku, dan cukup waktu 10 menit untuk menempuhnya .
Setelah sampai di sana, aku disambut oleh keadaan taman yang sepi. Namun, tempat itu tetap tampak indah atau mungkin bahkan sekarang terlihat lebih indah. Lampu taman yang bervariasi mengelilingi taman itu, air mancur di tengahnya beserta kolam ikan. Dan dihuni oleh pepohonan rindang dan berbagai macam jenis bunga yang tidak kuketahui jenis atau namanya. Hanya beberapa saja yang aku tahu. Seperti melati, bougenville atau biasa disebut bunga kertas, anggrek, tulip, dll. Kelestariannya pun terjaga dengan baik .
Aku menghampiri salah satu kursi taman dengan cat berwarna putih. Terletak di bawah pohon cemara. Aku duduk di sana dan menghirup dalam-dalam aroma taman malam itu. Sangat sejuk sehingga tak sadar itu bisa membuatku tersenyum. Kursi ini, sejak dulu tempatnya tidak berubah. Kursi yang menjadi tempatku dan Anei duduk bersama.
Seperti layar film yang kembali ditayangkan, samar samar aku melihat bayangan seorang gadis kecil yang nakal, banyak tingkah, keras kepala dan terkadang egois, berlari dengan wajah penuh kegembiraan di tengah tengah taman. Dengan sebuah pesawat yang terbuat dari lipatan origami. Ia memegangnya dan mengangkatnya ke udara sambil mengitari taman.
Sedangkan di sampingku, ada Anei yang duduk tenang sembari melipat origami yang lainnya. Sesekali dia memandangiku yang sedang sibuk sendiri dengan wajah berseri-seri. Lalu Anei tersenyum.
Aku terenyuh melihatnya. Menyadari bahwa masa kecilku sebahagia itu, semanis itu. Dan semuanya berputar 180 derajat ketika kami berdua mulai menginjak umur remaja. Lalu menanggungnya bersama-sama, saling mempertahankan dan saling bertahan.
Kemudian semuanya kembali normal. Akupun kembali melihat taman sepi ini tanpa ada seorangpun kecuali aku. Namun ternyata aku keliru, saat kedua kelopak mataku menangkap sebuah bayang-bayang di bawah sinar lampu taman. Mataku menyipit, keningku mengkerut. Mencoba melihatnya dengan jelas.
Akupun memutuskan untuk bangkit dari tempat kursi taman tersebut lalu berjalan lurus mendekati sosok bayangan itu. Dibalik sebuah perosotan besar dan berdinding itu mungkin ada seseorang. Begitu pikirku.
Langkahku perlahan semakin mendekat. Bayangan itu tak kunjung hilang dan terlihat seperti seseorang yang duduk atau membungkuk. Akupun berdiri di salah satu sisi perosotan itu.
"Permisi, apa ada orang di situ?" tanyaku sopan.
Aku menunggu selama beberapa menit namun tidak mendapat jawaban apapun. Lalu kucoba untuk memanggilnya sekali lagi, namun yang kudapatkan hanyalah suara jangkrik yang sedari tadi memenuhi taman ini.
Sembari menghela nafas pasrah, aku memutuskan untuk menghampiri sosok manusia —namun ada kemungkinan ia juga bukan seorang manusia— itu.
Selangkah, dua langkah, suara rumput yang diinjak terdengar. Aku terbelalak kaget saat tidak menemukan siapapun di sana. Seketika kakiku terasa kaku untuk digerakkan. Mataku juga melihat bahwa bayangan itu sudah tidak terlihat lagi. Kedua telapak tanganku yang saling kugosokkan untuk menghangatkan tubuh yang mulai merasa "sedikit" lebih dingin.
Angin berhembus makin kencang. Suara derik jangkrik juga masih tak kunjung menghilang. Tubuhku bergidik ngeri. Sebelumnya aku tidak pernah merasa sepenakut ini. Cuman beberapa hari belakangan ini, ada saja kejadian aneh yang membuatku bingung. Namun aku tidak pernah mencoba memedulikannya.
Setelah beberapa menit aku berdiri di sana dengan penuh tanda tanya, aku memutuskan untuk kembali. Arloji di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Dengan langkah cepat aku meninggalkan kawasan taman itu.
Sesampainya di rumah, aku segera mengunci pintu dan mataku mulai terasa sedikit berat. Dengan langkah malas, aku memasuki kamar dan menenggelamkan wajahku di bantal. Fisikku terasa lelah dan perlahan aku tertidur. Meski begitu, aku merasa otakku masih belum bisa tidur dengan tenang.
Amigdala sepertinya masih bersikeras untuk memikirkan sesuatu yang rumit.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMU
Teen FictionBerkali-kali kehilangan menimpa Nala, gadis remaja yang masih menduduki bangku SMA. Pribadinya yang cenderung introvert, membuatnya hanya memiliki seorang sahabat sejak masih kanak-kanak sampai sekarang. Namun, ada saatnya situasi memaksa Nala untuk...