09. Anei departure: Goodbye

20 7 0
                                    

Pagi ini ini aku memutuskan untuk bangun lebih awal. Mengingat hari di mana Anei akan berangkat ke luar negeri, aku memutuskan membuat masakan spesial khusunya. Setidaknya juga bisa membuatnya lebih semangat.

Tauco udang tahu. Makanan yang menjadi favorit gadis itu selama ini. Anei selalu bercerita dengan riang bagaimana ketika Ibunya memasak lauk itu untuk makan siang, lalu mereka berkumpul dan makan bersama.

Mengingat cerianya wajah gadis itu saat aku memberikan makanan ini sebagai bekal sudah cukup membuatku sedikit lebih bersemangat. Aku segera menyiapkan semua bahan mentah dan alat-alat masak. Aku memakai bumbu tauco yang ternyata sempat diberikan Anei saat aku berkunjung ke rumahnya. Entah dia sengaja atau tidak memasukkan bahan itu ke dalam plastiknya.

Karena bumbu dasarnya sudah tersedia membuatku lebih ringan untuk melanjutkan sisanya. Aku melirik arloji yang kuletakkan di sisi pinggir meja dapur yang dibatasi oleh dinding. Menghitung waktu yang cukup agar bisa sampai ke rumah Anei dengan tepat waktu.

###

Rumah megah itu akan segera kosong untuk beberapa hari ke depan. Dan aku akan menjalan hari-hariku yang membosankan seperti biasanya. Bersama secangkir kopi hangat dan beberapa lembar roti tawar. Tidak ada kunjungan ke luar kemanapun bersama teman atau siapapun itu. Membayangkannya saja terkadang membuatku muak.

"Wih cepet juga Nala sampe."

Suara seseorang membuyarkan lamunanku. Aku berpaling ke sumber suara. Melihat Anei tampak rapi dengan baju lengan panjang dan jeans bermodel berjalan menghampiriku. Wajahnya yang pucat dan sebuah selendang berwarna krem terlilit di lehernya.

"Masa sih kecepatan? Aku kira malah tadi mungkin udah ketinggalan." balasku .

Lalu aku menyodorkan sebuah rantang makanan pada Anei. Gadis itu menerimanya sambil mengerutkan dahi.

"Ini apaan Nal?"

"Hehe , tebak coba"

"Hm? Makanan?"

Aku tersenyum kecut. "Ya iya lah Ney. Jadi apalagi...."

Anei terkekeh pelan. "Mungkin.., spaghetti?"

Aku menggeleng kuat.

"Rendang?"

"Bukan"

"Soto?"

"Bukan bukan"

"Sup?"

"Salah. Coba cium baunya"

Anei pun mendekatkan Indra penciumannya. Setelah beberapa detik kemudian, lengkungan sabit terukir. Kemudian dengan wajah berseri-seri, ia membuka rantang itu.

"TAUCO?!"

Aku mengangguk kuat sebagai jawaban. Gadis berambut pendek itu pun segera bangkit dari posisinya dan berlari kecil menuju dapur. Lalu dia kembali membawa sebuah piring kecil dengan sendok.

Diambilnya seberapa banyak yang ia mau, lalu meletakkan di piring kecil tersebut. Meskipun keraguan akan rasanya masih terselip bagiku, namun setidaknya yang aku harapkan Anei mengerti kalau aku membuat makanan ini agar dia tidak merasa sendiri. Mungkin rasanya tidak seenak masakan Ibu Anei. Tapi lagi-lagi aku berharap itu bisa membuatnya merasa Ibunya tetap di sampingnya.

SEMU  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang