03. What is Still Hidden ?

30 11 0
                                    

Dua piring spaghetti hangat tersaji di hadapan Anei. Matanya tampak berbinar dan mulutnya terbuka lebar. Aku menatapnya puas seraya tersenyum simpul.

"Kamu bisa masak Spaghetti , Na?"

Aku mengangguk santai. Lalu kembali berjalan ke arah dapur untuk membersihkan alat masak yang sudah kotor.

"Aa-...aku kira kamu kurang ngerti masak makanan ginian" tukas Anei. Dia bangkit dari kursi meja makan dan menghampiriku di dapur.

Aku yang tengah mencuci piring tiba-tiba saja dikejutkan oleh pelukan Anei. Gadis itu tiba-tiba memelukku dari belakang sambil nyengir kuda.

"Kayaknya aku terlalu meremehkan kemampuan Nala. Padahal Nala itu tomboi, mageran, anaknya bodo-amatan, ternyata bisa masak" Ungkap Anei.

"Ah masa? Ini sih masih biasa Ney. Kalau mau, aku bisa masakkin lebih banyak makanan ke kamu. Yang penting itu bahan bahannya udah lengkap" Ujarku.

"Gimana kalau weekend nanti, Nala ajarin Anei masak. Mau gak? Keburu Ayah juga gak ada di rumah, jadi kita bisa bebas ngapa-ngapain" usul Anei sembari melepas pelukannya. Lalu kulihat dia mengangkat alat-alat masak yang sudah dibersihkan ke tempatnya masing-masing.

Aku mematikan keran lalu mengelap tanganku pada handuk yang tersedia.

"Hm..mau gak ya.."

"Ayolah Ney. Kamu juga gaada kerjaan kan?"

"Hm..gak ah males" , ujarku acuh

Nala melipat kedua tangannya sembari berdiri di hadapanku. "Pelit!" ejeknya seraya menjulurkan lidah.

Aku hanya geleng-geleng kepala dengan senyum tertahan. "Udah sana, kamu angkatin aja alat masaknya. Weekend nanti aku bakalan datang biar kita masak bareng"

Mata Anei kembali berbinar. Kelopak coklat mahoninya terlihat indah. Senyumnya manis dan semua tingkah lakunya yang terkesan seperti anak kecil. Anei lebih terasa seperti adik perempuanku dibandingkan sahabat yang seumuran.

"Makasih Nala udah mau masakin Anei , dan makasih juga buat semuanya."

Ujar Anei sembari melangkah ke meja makan lalu melahap spaghetti miliknya.

###

Hari menjelang sore. Aku melirik arlojiku dan jarum pendeknya sudah menempati angka lima. Aku segera merapikan barang-barangku yang terletak begitu saja di kamar Anei.

"Nala udah mau pulang?"

Anei mematikan televisinya kemudian bangkit berdiri seraya merapikan bantal-bantal yang berserakan di lantai kamarnya.

"Iya Ney. Lagian takutnya keburu mendung malah hujan. Susah dapet angkutan kota" jawabku.

"Engga naik kendaraan online aja Na? Biar aku yang pesenin" saran Anei.

Sebenarnya aku ingin, cuman mengingat uangku yang tidak cukup untuk ongkos ojek online , aku memilih untuk menolak.

"Gapapa , aku naik angkutan aja."

"Yaudah deh terserah Nala. Aku kebawah duluan ya , nanti kamu nyusul aja" pinta Anei . Aku mengangguk singkat , lalu dalam sekejap Anei sudah hilang dalam jangkauan pandanganku.

Baru kusadari bahwa aku lupa letak baju seragamku. Tadi aku sempat bermain perang bantal bersama Anei —awalnya karena aku iseng, namun malah berlanjut menjadi permainan— Karena takut gerah, aku melepas seragam itu dan tersisa baju kaos tipis yang biasa selalu aku pakai setiap pergi ke sekolah.

SEMU  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang