#POV 3
Ruangan rumah sakit menjadi lebih hening ketika malam mulai datang. Rembulan kembali datang bersama dengan bintang-bintang yang bersinar di hamparan langit yang gelap.
Namun sepertinya malam itu tidak setenang isi hati seorang pria yang tengah terkapar lemah di ranjang rumah sakit. Tubuhnya semakin hari semakin kurus. Bekas jahitan terpampang hampir di seluruh tubuhnya setelah kecelakaan tragis yang terjadi sekitar 2 tahun yang lalu. Dia baru saja membuka matanya setelah masa koma yang panjang. Lalu setelah mendapati dirinya tengah berada di sebuah ruangan serba putih, jelas itu membuatnya kaget setelah ia sadar baru saja tertidur cukup lama.
Selama beberapa menit ia hanya terdiam sembari menatapi langit-langit ruangan itu. Lalu tak lama kemudian ia kembali pada kesadarannya. Sontak ia menggerakkan tubuhnya perlahan mendekati pinggiran ranjang. Lalu diraihnya nakas yang terletak di dekat ranjang tersebut. Tangannya meraba-raba tempat itu seperti sedang mencari sesuatu.
Ya, ponsel! Ia butuh ponsel untuk menghubungi keluarganya. Ia akan meminta untuk dibawa pulang secepat mungkin dan bersembunyi di kamar sepanjang hari. Melarikan diri dari segala kemungkinan yang akan menghantuinya dan merugikannya.
Ia mengutak-atik ponselnya dengan tangan gemetaran. Bibirnya yang pucat komat-kamit , seakan sedang mengatakan sesuatu. Ia panik, dan semakin panik setelah sadar bahwa ponsel itu tidak lagi bisa digunakan. Dayanya sudah habis, dan terlihat bagiannya banyak yang rusak. Merasa marah, ia langsung membanting benda persegi panjang itu ke lantai sehingga menimbulkan bunyi nyaring.
Bertepatan setelah ponsel itu dijatuhkan, seorang wanita muda berjubah putih emasuki ruangan pria tersebut dengan sebuah stetoskop menggantung di lehernya.
"Nah ternyata memang sudah sadar," Ucapnya seraya mendekati pasiennya. Pria itu semakin tidak tenang lalu bergerak-gerak hendak melepaskan infus yang tertancap di tangan kirinya.
"Bapak mau ngapain? Belum saatnya untuk pulang. Lebih baik Anda makan dulu, ya," Dokter itu menahan pergerakan pasiennya sehingga mau tidak mau pria itu mengalah. Belum lagi kekuatannya masih belum cukup untuk melakukan gerakan berontak. Dia butuh energi.
"Suster, segera bawa makanannya."
Tak lama kemudian muncullah seorang wanita berpakaian dan bertopi putih memasuki ruangan itu dengan menggiring sebuah food trolly.
"Maaf, berapa lama lagi saya di sini? Saya harus menghubungi keluarga saya. T-tapi .. tapi...ponselnya! Ponsel saya rusak," kata pria tersebut dengan nafas tersengal. Dia panik sambil menunjuk-nunjuk ponselnya di lantai.
"Saya harus pulang!" tegasnya lagi.
Dokter yang tengah berdiri sembari menatap nanar pria itu hanya mampu menghela nafas. Lalu memaksa pria itu untuk diam dan meyakinkan bahwa dia akan segera kembali. Entah kenapa, pria itu tampak panik dan seperti ada sesuatu yang menganggu benaknya.
"Mari Pak, makan dulu. Bagaimana Anda sanggup pulang kalau energi saja tidak terisi. Sudah hampir dua tahun bapak tidak mendapat nutrisi apapun dari makanan," ucap Dokter tersebut, berharap ia bisa membuat pasiennya menurut.
"Du-dua tahun?" tanyanya kaget.
Dokter itu mengangguk singkat sebagai jawaban lalu bersiap untuk menyuapkan sesendok nasi dan sup. Namun pria itu menahannya, dan berkata bahwa dia bisa melakukannya sendiri.
"Saya tidak tahu sudah selama ini berlalu," keluhnya sembari merunduk lelah.
"Oh iya, bapak harus kurangi minum minuman keras. Bahaya buat ginjalnya," nasihat sang dokter seraya bangkit berdiri. "Makanannya wajib dihabiskan, ya. Kalau ada sesuatu tinggal pencet tombol itu," katanya sambil menunjuk sebuah tombol merah yang terletak tepat di dinding di belakang pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMU
Teen FictionBerkali-kali kehilangan menimpa Nala, gadis remaja yang masih menduduki bangku SMA. Pribadinya yang cenderung introvert, membuatnya hanya memiliki seorang sahabat sejak masih kanak-kanak sampai sekarang. Namun, ada saatnya situasi memaksa Nala untuk...