#POV 3
Anei kini duduk di kursi tunggu sambil meratapi lantai rumah sakit. Dengan syaal yang melilit lehernya, sedari tadi Anei enggan untuk menegakkan kepalanya. Ia sibuk menunduk, sambil memainkan jari-jarinya. Perasaanya sedang campur aduk, gadis itu kalut dalam rasa takut. Masih terbayang di benaknya saat ia melihat tubuh rimpu Ibunya di malam itu. Terbaring tak bernyawa di samping tubuh Anei sendiri.
Tangannya yang pucat semakin dingin, semakin kuat pula ia menggosokkan kedua telapak tangannya. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang, batinnya menjerit lelah. Anei juga harus segera melanjutkan konsultasi dan pengobatan, namun lagi-lagi ada saja bagian terdalam dari lubuk hatinya yang menolak kehendak Anei. Seakan-akan tubuhnya sendiri tidak ingin melanjutkan hidup. Tetapi, setiap itu terjadi, otaknya akan melawan. Bayang-bayang wajah dan senyuman Nala terlintas dalam benaknya. Bukan hanya senyumannya, namun saat gadis itu menangis juga terekam dalam memori Anei.
Saat di mana Nala kehilangan keluarganya, gadis itu terus memeluk Anei. Tidak mau melepaskan sahabatnya itu. Kata Nala dulu pada Anei, ia malu kalau dilihatin orang ketika sedang menangis. Trauma seorang Nala pasti belum hilang. Bagaimana jika dirinya pergi juga? Apa Nala bisa mengikhlaskannya? Bagaimana nanti kalau Nala menangis? Siapa yang akan memeluknya?
Setiap harinya, setiap menitnya, pemikiran itu yang selalu menghantui Anei. Ia mencoba berkali-kali meyakinkan dirinya untuk terus kuat, dan menghilangkan bayang-bayang kematian Ibunya dengan segera. Berhenti untuk merasakan tubuh dingin itu memeluk dirinya saat dulu. Anei ingin melupakan itu semua. Namun selama dia masih hidup, hal itu adalah sesuatu yang mustahil. Itu membuat Anei tersiksa.
Anei sontak mengangkat wajahnya. Kedua telapak tangan Anei menampar pipinya sendiri.
"Jangan sampai, jangan sampai parah," gumam Anei sembari menunggu hasil laboratorium. Kini ia tengah sendiri, menunggu hasil pemeriksaan terbaru serta kedatangan Ayahnya untuk kembali dari pekerjaannya.
Setelah lima belas menit lebih berlalu, akhirnya sesuatu yang mendebarkan dan ditunggu-tunggu telah sampai pada waktunya. Dua orang wanita tampak keluar dari ruangan laboratorium, namun salah satu dari mereka — tampaknya seorang suster — berlalu dan meninggalkan dokter yang memeriksa Anei tadi dengan memeluk sebuah map yang terbuat dari kertas.
"Orang tuanya belum datang juga, dek?"
Anei menggeleng. Meski wajahnya sedikit cemas, Anei tetap berusaha untuk bersikap dewasa— seakan-akan ia sudah siap untuk mendengar kelanjutan dari penyakitnya ini.
"Menurut kamu bagaiamana? Bapaknya mau ditunggu aja?" Tanya dokter tersebut. Mimiknya terlihat mengkhawatirkan tubuh kurus dan pucat Anei.
"Oh engga papa, dok. Ayah saya kayaknya masih lama, deh. Bicaranya sama saya aja dok!" jawab Anei cepat.
Dokter tersebut akhirnya mengangguk setuju lalu menggiring Anei menuju ruang kerjanya. Anei pun mengikuti dokter tersebut sambil tidak berhenti melawan rasa takutnya.
"Mama, aku kangen. Tapi, bagaimana? Aku masih mau bersama dengan Nala. Jadi tolong doakan ya Ma, kalau anakmu ini akan baik-baik saja."
###
Aku meratapi pintu gerbang dengan tatapan risau. Hendak memasuki sekolah itu segera, namun bayang-bayang Isabel masih menggangguku. Aku melirik ke sana kemari memastikan di antara keramaian bahwa aku tidak akan bertemu dengan gadis iblis itu. Namun, sepertinya aku kurang beruntung. Meskipun orang ini bukan Isabel, tapi dialah alasan mengapa Isabel menyerangku, dan aku harus berpapasan dengan seorang pria idaman para wanita di sekolah ini.
Kecuali aku.
"Selamat pagi, Nala."
Yuda menyapa dengan lembut. Aku mengadahkan wajahku sedikit ke atas dan melihat senyuman hangatnya di sela-sela sinar matahari yang menghalau.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMU
Teen FictionBerkali-kali kehilangan menimpa Nala, gadis remaja yang masih menduduki bangku SMA. Pribadinya yang cenderung introvert, membuatnya hanya memiliki seorang sahabat sejak masih kanak-kanak sampai sekarang. Namun, ada saatnya situasi memaksa Nala untuk...