1

20 0 0
                                    


Tidak biasanya Sean mengundang Veestel untuk ngemil di kantin kampus. Biasanya, si konglomerat S2 itu akan lebih senang menyeretnya dari depan kelas ke mobil seharga dp rumahnya dan menyupirinya ke café terdekat. 

Bukan berarti Veestel lebih suka dijadikan buah bibir anak kampus dengan embel – embel "rambut pink centil, mata duitan", tapi Sean yang notabenenya anak sultan sejak embrio itu sangat mudah terpancing untuk muntah, apa lagi di depan mangkok mie ayam tujuh ribuan.


Parahnya, itu adalah menu favorit Veestel di kantin kampus. Apalagi paket hemat si mie ayam dibarengi teh ber-es batu entah-dari-air-mana yang sama menjijikannya di mata Sean.


Veestel tentu saja dengan segenap Nurani dan simpati yang tersisa telah memberi tahu Sean betapa ia tidak ingin melihat cowok ganteng berjam tangan seharga motor muntah di manguk mie ayam seorang gadis kere. 


Tapi, Sean seperti benar – benar ingin Veestel untuk datang ke kantin setelah kelas usai. Gadis itupun merasa sudah cukup memperingatkan, sehingga jika skenario terburuk itu benar terjadi, dia akan minta ganti rugi dan cepat – cepat kabur dengan dalih ke kamar mandi.

Temen sih temen, tapi kalau ngeyel ya harus tau rasa.


Kira – kira pukul dua, kelas usai. Akibat perutnya yang tak kenal kata penuh, Veestel lekas – lekas mendekati kios mie ayam di ujung kantin. 


Sayangnya, sebelum dia berhasil mengantre, suara Sean yang dalam nan lantang merambat di udara, memanggil Namanya, membiarkan semua orang tahu bahwa si-centil-rambut-pink-mata-duitan sedang di panggil si-konglomerat-ganteng-S2.


Veestel adalah nama kecil yang hanya diketahui beberapa orang. Nama asli Veestel adalah Vega Estella, jauh dari kata Veestel yang jelas – jelas dibaca vis-tel. Dan dengan fakta tersebut, bukan hanya seluruh penghuni kantin mendengar Veestel dipanggil "lagi" oleh si senior kaya, namun juga dengan "nama istimewa".


Sayangnya Veestel sudah lupa bagaimana harus peduli dengan gossip – gossip semacam itu. Dengan wajah tak tahu malu, ia berjalan santai pada sang senior.


Sean duduk di sebuah meja bundar dengan diameter kira – kira 1m, di samping seorang laki – laki yang familiar wajahnya. Semakin dekat, mata Veestel semakin disipitkan, hingga Ketika ia berdiri tepat di dekat kursi kosong pada meja itu, ia menjentikkan jari,


"oh, Romeo! Right? Yang terus – terusan diomongin Sean! Wait, OH, kita ketemu di home party ulang tahun ibunya Sean, remember?"


Pemuda yang dipanggil Romeo itu menatap Veestel lurus – lurus dengan mata ber- eye lenses hitamnya. Mengernyit. Veestel tersenyum -yang lebih dekat dengan seringai, lebar – lebar sembari duduk. Disugarnya rambut pink-coklat-krem kebanggaannya hingga tidak lengket di leher,


"do I know you?" Romeo memaksakan senyum sopan dengan alis terangkat tinggi. Sean yang duduk di antara keduanya melepas tawa santai, lalu menepuk bahu kawan – kawannya pelan,


"so, as you know, dear Veestie, this is Romeo, my childhood friend. He's in internship fase, a surgeon wanna be. And, Rommie, this is Vega Estella. But you're my bestie, so I supposed you can call her Veestel as well. She's a 2nd year student in Criminology."

Our Dearest PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang