8

5 0 0
                                    


            "Kakak udah pulang?"


Matahari nyaris tenggelam Ketika Veestel sampai di rumah. Seth dan Ara masih duduk – duduk di sofa ruang tamu, membaca buku diktat super tebal ditemani teh manis dan biskuit coklat buatan Ara,


"capek, Ra, ngobrolnya nanti aja kali ya," Veestel menghadiahi Ara senyum dari sisa – sisa tenaganya hari itu, "I just wanna hit the bed, or straight up to bath."


Dari mata Ara -yang dilapis kontak lens biru kesukaan Seth, Veestel tahu Ara bukan hanya sedikit kecewa, tapi juga khawatir. Bagaimanapun, Veestel tidak tega. Ada dorongan besar untuk pura – pura tidak tahu dan mengurus batinnya yang Lelah, tapi entah mengapa, tubuhnya bergerak pada sofa, dan duduk, "tapi, kakak gak bisa nolak tea time sore sih."


Wajah gadis biru itu mendadak cerah. Dengan cepat ia berjingkrakan ke dapur, "kalau gitu tunggu dulu ya kaaak."


Veestel mengulum senyum hangat, dadanya disesaki sayang. Mungkin memang, duduk sejenak dan berbincang akan menenangkannya sedikit,

"Bang Romeo udah cerita ke kakak, ya?"


Kesiap. Tak ada yang mampu menutupi air wajah Veestel yang terkejut, seterkejut – terkejutnya. Seth, yang duduk di dekatnya, menatap Veestel lurus – lurus tanpa ekspresi yang berkesan. Diajak bicara sudah memancing keterkejutan satu, tapi isi percakapannya adalah keterkejutan yang jauh lebih mengguncang. Veestel sama sekali tidak habis pikir.


"kamu tau tentang rencana Romeo?!"

Seth, sepertinya tidak ingin pembicaraannya ini didengar pacarnya, ia mencondongkan badan ke depan, wajahnya yang tak berekspresi makin dibuat serius,

"Seth gak bodoh, kak, Seth tau mereka takut,"

"takut?" 


Veestel semakin bingung, semakin dikejut. Seth diam sejenak, berfikir. Detik berjalan lambat hingga ia melanjutkan omongannya.


"Sean dan bang Romeo selalu sebanding. Seth memang pendiam, dan mereka belum bisa baca pikiran Seth," Seth seperti tersenyum, tapi tipis dan miris,

"jadi, mereka takut kamu suatu hari ngelebehin mereka?" fakta baru, ketidak masuk akalan baru,

"mereka takut apa yang engga bisa mereka ngerti. Pun kakak juga takut sama Seth, kan?"


Veestel terkesiap, entah merasa bersalah, entah setuju.

"I wont harm Ara, I love her, believe me," Veestel tergelak, miris. Dengan Gerakan lembut, ia mencondongkan badan pada Seth, menyentuh tangannya pelan, "I know that so well, I have no reason to not trusting you."

"thankyou."


"Jadi," tiba – tiba segala hal menjalin common sense gila yang menjejali kepala Veestel, berebut minta dilantangkan, "Kamu dan Ara saling suka, kalian pacaran. Sean dan Romeo insecure,"

"Di home party dua tahun lalu, mereka ngeliat kakak bareng Ara. Bang Romeo suka sama gaya kakak, dan Sean pengen tahu tentang Ara,"

"mereka kerja sama?!"


Veestel menegakkan badan, nyaris melonjak, "jadi Romeo dateng ke rumah kemaren-,"

"anyhow, Sean mertemuin Romeo sama kakak, kan," Seth tersenyum getir,

"dan bayarannya laporan hubungan kamu sama Ara?!"


"Kak," gadis pink itu nyaris meledak, "he really likes you, tho." Seth berusaha memasang wajah dengan simpati yang terlihat seperti wajah megasihani, "Seth tau mereka sering kelewatan, but bang Romeo is a good person."


Ara datang tepat setelah kesunyian menusuk yang mengacak – ngacak perasaan Veestel seperti telur kesukaan ayahnya saat sarapan. Meskipun Ara terus menerus tersenyum dengan wajah bonekanya, meskipun biskuit Ara begitu lezat dan teh panas begitu nyamannya mengaliri tenggorokan Veestel, yang bisa gadis itu ingat hanyalah ketidak masuk akalan, namun juga sepasang mata hitam yang memiliki black hole.


Waktu berjalan begitu lamanya, udara seperti diberi pemberat. Langit gelap, kompleks perumahan Veestel senyap. Sudah waktunya Seth pulang. Ara berdiri bersamaan dengan pacarnya, mengedik pada kakaknya untuk ikut serta mengantar Seth ke pintu. Sopan – santun, tentu saja. Veestel pun tak ingin mempermasalahkan, pikirannya masih mengawang jauh pada Batasan yang entah, pada logika yang kusut.


Hingga Seth selesai mengenakan sepatu, dan menepuk bahunya,


"ini juga salah Seth, kak. Kalau perlu, kak Veestel coba aja cerita sama Ara," Seth sekali lagi mencoba tersenyum dengan tulus. Dengan penuh sayang. Tentu, Veestel kurang suka ide Ara nya yang manis dipacari Seth yang pendiam dan terasa menintimidasi, tapi bagaimanapun, Seth belum pernah menyakiti Ara, dan selalu sopan kepadanya. 


Seth, semacam adik laki – laki yang tumbuh di rumah orang, kemudian pulang setelah belasan tahun; canggung, tapi tetap disayang, "Ara jauh lebih genius dari yang kakak pikir. Kuncinya bukan aku, kak, tapi Ara."


Mind blown lainnya, di hari yang sama. Ara hanya berdiri di sebelah Veestel, tersenyum seperti boneka.

Our Dearest PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang