2

7 0 0
                                    


"Romeo! Sebelah sini!"


Pemilik nama tersebut menoleh cepat pada sumber suara, mengembarakan pandanganya mencari sesosok mahluk. Saat itu, halte lenggang. Busway khas kampus kosong, dan anak – anak kriminologi nyaris tidak terlihat di sekitaran jalan.


Akibatnya, mudah bagi Romeo untuk menemukan suara yang memanggil Namanya, menangkap sesosok tubuh gadis nyentrik nan merah muda dengan matanya yang ber eye lens hitam.


"maaf ya, lama. Kita nugas dulu, mumpung dosennya masih mau bantuin bombing."


Romeo memindai gadis serba pink yang menyeringai acuh tak acuh itu sekilas. Masih dengan rambut tiga warna, anting Panjang sebelah, tas kelabu, kaus putih-rok pink megar di bawah lutut. Choker berbandul bintangnya juga masih bertengger di leher, seperti gelang tali pramuka di tangannya. Veestel, sama sekali tidak berubah. Sebagai gadis yang bergaya sesukanya, bukanya aneh untuk terus memakai gaya yang sama?


"iya aku gak pernah ganti gaya. Just like you, jaket, sepatu, tas adid*s semua,"

"di dalem jaket, ada kaos yang selalu ganti warna. We're different"

Veestel sama sekali tidak mendengarkan ucapan Romeo, bahkan sama sekali tidak peduli,

"okeh jadi," Veestel menyugar rambutnya, menyeka anak rambut yang lengket di leher, "kita nunggu Ara dulu, nebeng mereka. Kamu gak bawa mobil, kan?"


"mobil?"


Si gadis pink mengangkat alis bingung, berbarengan dengan Romeo yang juga mengangkat alis, penasaran. Seketika, udara berubah berat. Aura canggung dan serba salah mengoar,

"kamu punya mobil, kan?" Veestel menelan ludah, menunggu reaksi. Namun Romeo masih mengangkat alis tinggi dan tersenyum tipis. Udara semakin berat, Veestel ditampar keterkejutan, "really?" suaranya semakin serak.


Romeo, dengan tenangnya mulai mengerti apa yang terjadi, tersenyum miring -nyaris geli. Ditatapnya Veestel dengan sendu yang pura – pura, lalu melempar tatap pada halte yang lenggang,

"rumahku cuman dua blok dari kampus,"

"tapi Sean-"

"Sean gak mungkin mau naik angkot, kan?"


Mata Veestel semakin terbelalak, penuh ketidakpercayaan yang tak tertahankan. Romeo menontoni gagap nan salah tingkah si cewek pink, menahan gelak yang menjadi – jadi,

"here, here, rommie!" Veestel mencengkram bahu Romeo, mendongak pada pemuda 180 cm itu, nanar, "kamu tetangga Sean, kan?"

"practically,"

"di sebelah rumah Sean, kan?"

"mmm, kinda?"


Veestel semakin horror,

"I mean, kamu bukan tinggal di pinggir jalan deket perumahan Sean dan dapet beasiswa gara – gara tunjangan pemerintah atas anak tidak mampu kaaaaaaaan?!!!"


Romeo tertawa sekuat- kuatnya -begitu parah hingga mengeluarkan bulir – bulir air di sudut matanya. Veestel bete mendadak,

Our Dearest PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang