3. Aku Bukan Pelakor

10.1K 802 46
                                    

Anya masih menangis sesenggukan dalam pelukan Fira. Sejak ia meninggalkan Gara di hotel, Anya pun langsung menghubungi sahabatnya itu. Hingga sekarang dirinya berada di rumah keluarga Fira.

"Gue bodoh banget, Fir. Bisa-bisanya gue ngelakuin itu untuk yang pertama kalinya sama bos gue, yang bahkan baru aja nikah. Kalo sama cowok single mungkin gue gak akan sefrustrasi ini," racau Anya. Penampilannya sudah berantakan sebab tak berhenti menangis. Bagaimana tidak frustrasi jika Anya mendapati dirinya sudah tidur dengan pria beristri.

"Terus reaksi bos lo itu gimana?" tanya Fira seraya mengusap punggung belakang Anya untuk menenangkan sahabatnya itu.

"Dia mau tanggung jawab, Fir. Dia mau nikahin gue. Tapi masalahnya gue yang gak mau jadi perusak rumah tangga orang lain. Apalagi pernikahan mereka baru seumur tunas jagung. Gue gak mau disebut pelakor, Fira!"

"Iya, gue tau lo bukan pelakor. Lo 'kan benci banget sama yang namanya pelakor apalagi selingkuhan. Dan yang terjadi sama lo ini bukan kehendak lo, Nya. Lo gak bisa terus-terusan nyalahin diri sendiri kayak gini, karena laki-laki itu juga punya andil besar. Kalo aja dia gak ke klub, tapi ada di rumah sama istrinya. Gak bakal hal yang kayak gini bisa kejadian. Jadi stop nyalahin diri lo sendiri karena gue tau, gue kenal betul lo gak kayak gitu."

"Makasih ya, Fir. Lo emang sahabat gue yang terbaik," sahut Anya seraya kembali memeluk Fira. Di saat seperti ini hanya Fira yang bisa menjadi tempat berbaginya. Ia jelas tidak akan menceritakan hal ini pada orang tuanya, sebab tidak ingin melihat papanya jantungan.

"Sama-sama. Terus rencana lo kedepannya gimana? Mau nerima pertanggungjawaban lelaki itu atau-"

"Gue jelas gak akan pernah nerima itu. Sampai kapan pun, gue gak mau jadi perusak rumah tangga orang lain. Jadi gue bakal ngelupain apa yang terjadi tadi malam. Dan gue juga bakal resign dari kantornya."

"Apa? Lo mau resign?"

"Iya. Gue rasa itu yang terbaik. Gue gak bakal bisa tenang kalo masih kerja sama dia, Fir. Gue bakal keinget terus apa yang tadi malam terjadi."

"Emangnya servisan dia gimana sampai-sampai bikin lo ingat terus?"

"Lo pikir gimana? Bawah gue aja masih sakit banget kayak gini. Jalan aja rasanya susah."

"Namanya 'kan baru lepas perawan, gimana sih lo," decak Fira sebal. "Sebesar apa sih punya bos lo itu?"

"Pertanyaan lo ya, Fir! Emangnya udah berapa cowok sih yang pernah gue liat itunya? Sampai-sampai gue bisa tau ukuran bos gue sebesar apa," sahut Anya seraya memutar bola matanya malas. Fira yang melihat hal itu pun mengulas senyum, karena setidaknya Anya masih bisa menanggapi candaannya.

"Lo jangan khawatir, karena apa pun yang terjadi, gue akan selalu ada di pihak lo. Gue tau lo gak seratus persen salah di sini," ujar Fira yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Anya.

***

Gara memasuki kamarnya dengan senyum menghiasi bibir karena teringat apa yang sudah dirinya lakukan bersama Anya tadi malam. Ia tak bisa melupakan saat-saat menyenangkan kala dirinya menghujam pusat diri Anya dengan gerakan cepat. Rasanya ia ingin lagi dan lagi melakukannya. Tapi ia juga merasa kasihan pada Anya, sebab semalam wanita itu sudah terlihat sangat kelelahan.

"Sayang... Kamu dari mana aja sih? Kok semalam pergi gitu aja?"

Memutar bola matanya malas, Gara baru ingat kalau sekarang dirinya sudah menikah. Dan yang baru saja menyapanya dengan suara manja adalah istrinya. Bahkan rasanya Gara terlalu malas menyebut wanita itu sebagai istri. Dengan tanpa merasa bersalah, ia langsung menyentak tangan Karin yang melingkar di pinggangnya.

"Sayang... Kamu kenapa sih?" tanya Karin kebingungan. Semalam ia sudah ditinggalkan begitu saja dan pagi ini dirinya malah diabaikan.

"Bukan urusan kamu," sahut Gara cuek seraya melangkah menuju kamar mandi dengan membawa pakaian kerjanya. Sebenarnya ia sudah diberi izin untuk cuti, tetapi lebih baik dirinya berangkat kerja agar bisa bertemu Anya. Lagipula untuk apa dirinya cuti dan menghabiskan waktu bersama istrinya itu 'kan? Toh melihat wajahnya saja, Gara sudah merasa muak.

"Sayang, kamu kok gitu sih? Aku ini istri kamu loh. Terus kenapa juga kamu bawa pakaian kerja? Kita 'kan pengantin baru, Sayang," ujar Karin masih dengan rengekannya. Ia mengikuti Gara ke depan pintu kamar mandi dan mengetuknya dengan harapan suaminya itu mau membuka pintu.

Setelah selesai berganti pakaian karena memang dirinya sudah mandi di hotel tadi, Gara pun keluar dari kamar mandi dan tetap mengabaikan Karin.

"Kamu kenapa sih? Kok berubah kayak gini? Semalam juga kamu ke mana, Sayang? Padahal 'kan tadi malam itu, malam pertama kita," ujar Karin masih mencoba berbicara pada Gara.

"Aku rasa, aku gak bisa jadi suami kamu, Karin. Aku mau kita bubaran."

"Apa kamu bilang?" tanya Karin terkejut. Bagaimana ia bisa tidak merasa terkejut, kalau pernikahan mereka saja masih sangat-sangat baru. Sedangkan Gara berkata ingin bubaran. Apa lelaki itu sudah gila?

"Aku baru sadar, kalo aku tetap gak bisa cinta sama kamu. Jadi daripada aku cuma bisa nyakitin kamu. Lebih baik kita pisah aja."

PLAKK

Satu tamparan keras mendarat di pipi Gara. Karin pun menatap suaminya dengan pandangan marah. "Kamu mau menceraikan aku? Di saat kita baru kemarin nikah? Kamu udah gila, HAH?" tanya Karin marah. Selain karena merasa terhina dengan kelakuan Gara. Karin juga merasa kesal karena rencananya sudah pasti gagal kalau Gara menceraikannya.

"Bukan cerai, Karin. Tapi pembatalan pernikahan. Toh kita baru kemarin menikah dan aku pun belum nyentuh kamu sama sekali. Jadi aku rasa gak masalah," sahut Gara enteng.

"Enggak, Sayang. Aku gak mau pisah dari kamu. aku sayang dan cinta sama kamu," ujar Karin mengiba. Tidak akan pernah dirinya biarkan Gara menceraikan atau mengajukan gugatan pembatalan pernikahan mereka. Tidak akan pernah.

Sementara itu, Gara mendengus karena tahu Karin hanya berpura-pura. Wanita licik itu hanya cinta pada uang dan kekayaannya saja. "Tekadku sudah bulat, Karin. Aku mau kita pisah. Secepatnya," sahut Gara penuh penekanan.

Karin menggeleng kuat-kuat. Ia pun memeluk Gara meski laki-laki itu mencoba melepaskan pelukannya. "Aku gak mau, Sayang. Lagian kita 'kan belum ngelakuin malam pertama. Gimana kalo kita ngelakuinnya sekarang? Aku jamin kamu gak akan nyesel," rayu Karin. Ia bahkan sengaja mengelus dada bidang Gara. Tapi lagi dan lagi, ia mendengus sebab Gara kembali menjauhkan tangannya.

"Maaf. Tapi aku gak tertarik."

Karin semakin kesal saja dibuatnya. Ia pikir, setelah menikah dengan Gara, laki-laki itu akan takluk padanya. Tapi apa yang terjadi sekarang? Gara malah ingin menceraikannya di saat mereka baru kemarin melangsungkan pernikahan.

"Kamu kenapa jadi gini sih? Kenapa kamu berubah setelah kita nikah?"

"Tanyakan pada diri kamu sendiri, Karin. Karena aku kayak gini gak mungkin tanpa alasan."

Setelah berkata seperti itu, Gara langsung melenggang pergi meninggalkan kamarnya. Sedangkan Karin, wanita itu mengumpat karena kesal.

"Sialan kamu, Gara. Pokoknya aku harus bisa membuat kamu bertekuk lutut. Kamu gak boleh menceraikanku begitu saja!"

***

Gara terlalu percaya diri kalau bisa bertemu Anya setelah tiba di kantor, karena nyatanya perempuan itu tidak masuk kerja. Ia bertanya-tanya apakah Anya baik-baik saja setelah apa yang terjadi semalam. Apalagi saat Anya meninggalkannya, ia bisa melihat jika perempuan itu sempat kesulitan untuk melangkah. Mungkin saja kepunyaan Anya terasa sakit karena semalam sudah dirinya gagahi tanpa ampun.

Bodoh. Jelas saja Anya tidak baik-baik saja karena perempuan itu tak masuk kerja. Sebab, yang selama ini Gara kenal, Anya merupakan pegawai rajin dan teladan.

"Gue harus secepatnya pisah sama Karin. Biar gue bisa tanggung jawab sama Anya," gumam Gara ke dirinya sendiri. Ia harus bertanggung jawab karena telah merenggut keperawanan Anya. Belum lagi semalam dirinya mengeluarkannya di dalam yang bisa saja membuat Anya hamil.

***

04-07-2021

Jangan lupa vote dan komennya yang banyak ❤️❤️

See you.

I'm NOT a MistressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang