Kiaran, 1971
Seperti rutinitas yang menjadi sebuah kebiasaan. Ia kali ini menaiki taxi, agar lebih cepat sampai ke tempat kerjanya. Menjadi seorang penulis berita bukanlah hal yang mudah. Harus bangun pagi-pagi buta dan tidak pula pergi sebelum matahari itu naik, pulang tak jarang pagi setelahnya dan kembali lagi pergi sebelum siap untuk tidur walau hanya untuk beberapa menit saja.
Satu kesalahan sekarang baginya sebab terlalu lelah kemarin karena jam kerja gila yang di lakukan kantornya. Ia juga harus pergi pada penerbit koran agar berita langsung jadi besoknya, yaitu hari ini. Dunia tidak akan pernah lepas dari beragam inseden, bahkan kecelakaan yang menimpa kucing di korankan pagi kemarin atau tentang perceraian seorang pejabat lalu dia menikah lagi dan undangannya juga di iklankan di koran. Ya, bagaimanapun, Kiaran adalah Ibu kota yang berisik.
"Nak Yeosang, sudah mau berangkat lagi?" Kata Ibu tetangga yang sedang menyapu halaman rumahnya, tersenyum ramah namun lebih terlihat dipaksakan.
"Haha ya, permisi Bu.."
Semua tetangganya tau apa pekerjaannya dan bagaimana ia menjalani hidup. Sendirian dan sibuk, tak jarang juga gosip negatif tentangnya menyebar di antara para ibu-ibu. Sebenarnya Yeosang juga lebih tidak menganggap mereka hidup dan ada selama ini.
Kini berdiri di depan telepon umum, memasukan tiga koin dan menekan digit angka, Yeosang berharap panggilannya segera di angkat. "Halo? Bisakah kau datang sore hari saja? Aku minta maaf karena pekerjaan yang mendadak. Kau bisa tunggu sebelum aku tiba, atau lakukan saja apa yang kau mau jika datang lebih dulu. Ya, terimakasih."
Semoga hari ini tidak hujan.
Ia berjalan sedikit ke depan, deretan pertokoan yang ramai dengan riuh pelanggan membuat Yeosang sedikit iri karena tidak bisa seperti itu, pergi bersenang-senang menghabiskan uang tanpa perlu memikirkan apapun. "Kang Yeosang!" Satu mobil menepi di dekatnya, dan membuka kaca samping sambil berteriak membuat Yeosang agak membungkuk untuk melihat siapa yang memanggil namanya dari dalam mobil.Matanya melebar, tersenyum dengan senang hati, lalu membalas sapaan si pemilik mobil, "Lee Sangyeon!!"
"Ayo masuk, aku antar."
Yeosang menerima tawaran temannya, membuka pintu mobil dan masuk. "Bagaimana bisa kau ada di sini? Berbelanja? Tumben sekali." Tanyanya dengan sedikit usil.
"Bukan, aku habis dari percetakan koran, kau bisa turunkan aku di terminal nanti."
"Tidak masalah, aku juga lewat sana."
"Bagitukah? Haa.. syukurlah, terimakasih banyak kau sangat membantu."
Sangyeon sesekali menoleh ke arah Yeosang, "Pekerjaanmu baik-baik saja?" Rasanya seperti ada yang salah tapi Sangyeon tidak tahu apa. Yeosang terlihat seperti manusia yang hidup di luar tapi mati di dalam.
Yeosang menatapi jalan, bicara dengan nada yang biasa saja, "Ya, seperti inilah.. enak sekali jadi dirimu, andai saja waktu itu aku ambil jurusan pegawai negri."
"Menjadi seorang pns tidak selalu enak seperti kau atau orang lain pikirkan."
"Tapi punya tunjangan dan uang pensiun."
"Itu hanya sebuah bonus."
Mobilnya tiba-tiba berhenti, tertulis di depan mata keduanya jalanan di tutup untuk sementara waktu. "Mereka benar-benar memprotes ya." Kata Seongyeon mencoba untuk putar balik.
"Memprotes?" Yeosang membuka kaca mobil dan setengah badannya keluar melihat apa yang terjadi di depan sana. Di mayoritasi oleh para mahasiswa. Yeosang ingat sekarang, "mereka melakukan hal yang tidak berguna." Sambungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
my yeosang; Jongsang
Fanfiction[REVISI] Kang Yeosang yang logis dan Choi Jongho yang optimis. "Aku kesal karena tidak bisa marah pada takdir." "Kalau begitu marah saja padaku." "Kenapa harus?" "Karena aku takdirmu." ••• Saat Fajar. ©Iceteez On going