Musim hujan yang sudah selesai kemudian tahun barupun datang. Orang-orang dengan mobil baru mereka, para pekerja sipil, mahasiswa semester awal atau juga akhir, jalanan yang makin ke sini makin ramai, partai-partai politik yang berlomba menandai wajah mereka dengan aksi sosial dan masih banyak lagi di sini yang bisa dilihat oleh Yeosang. "Andai saja aku bisa membuat mata uangku sendiri."
Ia duduk di kursi pinggir jalan yang sebelahnya ada warung kopi kecil sembari pegang buku catatan dan pena. "Hah.." pekerjaan yang ia tekuni hampir enam tahun lebih atau entahlah sejak kapan ini selalu berhasil membuatnya sesak. "Aku pensiun nanti buka warung kopi saja." Katanya, mencatat beberapa tulisan abstrak. "Haa.. Apa kau serius.. kenapa otakmu tidak bekerja sedikitpun."
Jujur saja, sebenarnya yang Yeosang pikirkan sekarang hanyalah Jongho. Karena tadi pagi sebelum berangkat dia melakukan hal yang tidak terduga, ah lupakan itu.. sekarang waktunya kerja Yeosang.
"Senior Kang."
Yeosang mendongak, "Oh, kau.." melihat seorang yang datang menghampirinya "Hendery."
"Ekspresi apa itu.."
"Waw~ ya ampun kau masih hidup???! Begitu maumu?"
"Sudah cukup. Aku melihatmu dari jauh karena terlihat sangat mencolok.. apa yang kau lakukan di sini? gelut sama diri sendiri?"
"Biasalah, apa yang kau dapat? Coba kasih aku contekan sedikit."
"Ehey.. maaf bukannya aku tidak hormat tapi kita dari perusahaan berita yang berbeda mana mungkin aku kasih tahu bahan apa yang aku dapat."
Yeosang berdiri dari kursi, buku catatan serta pulpennya ia masukan ke dalam tas. "Kau ada uang?"
"Huh? Ada."
"Traktir aku makan malam."
"Ha, aku suka ketika aku di palak olehmu."
"Orang gila."
Dan sekarang di tempat restoran mie sederhana yang tak jauh dari tempat Yeosang nongkrong tadi keduanya memesan menu yang sama. "Bagaimana kabarmu?" Tanya Hendery, "Aku bukannya tidak ingin bertemu, kau tahu.. kita ini musuh dalam pekerjaan."
Yeosang memperhatikan wajah lawan bicaranya, "Aku nyaris saja menyebarkan poster wajahmu sebagai orang hilang, tapi sehari setelah itu kau meneleponku dan aku mendengar suaramu aku bersyukur."
"Sebuah kebahagiaan untukku dikhawatirkan olehmu."
"Omong kosong.. aku hanya.. aku kehilangan Ayahku yang seorang jurnalis tanpa kejelasan, setidaknya aku juga tidak kehilangan teman yang satu profesi dengan cara yang sama."
Hendery tersenyum halus kemudian mengisi ulang air ke gelas milik Yeosang, "Aku tidak boleh mati dengan mudah, kau benar, pekerjaan kita ini sangat beresiko.. aku juga selalu takut dengan pekerjaanku sendiri."
"Kau sudah hebat sekarang."
Kehenginan untuk beberapa saat dan mie pesanan merekapun akhirnya datang.
"Apa kantormu juga akan meliput pemilihan presiden baru nanti?" Tanya Hendery.
Hendery juga pernah tinggal sekitar dua bulan di rumah Yeosang karena dulu keduanya pernah bekerja di perusahaan yang sama, namun kemudian Hendery memilih pindah. "Yah, semua juga akan melakukannya. Kita akan sama-sama super sibuk nanti. Aku dengar kau akan segera menikah, apa dia wanita baik?"
"Iya tentu, doakan aku." Kata Hendery dengan senyuman lebar yang terlihat bahagia. "Datanglah nanti bersama pasanganmu."
"Aku tidak punya."
Hendery menertawakannya tidak percaya, "Aa.. aku salah, karena kau tahu? kau kelihatan seperti seorang yang sedang jatuh cinta. Wajahmu memang selalu suram, tapi sekarang... bagaimana ya? terlihat cukup bercahaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
my yeosang; Jongsang
Fanfic[REVISI] Kang Yeosang yang logis dan Choi Jongho yang optimis. "Aku kesal karena tidak bisa marah pada takdir." "Kalau begitu marah saja padaku." "Kenapa harus?" "Karena aku takdirmu." ••• Saat Fajar. ©Iceteez On going