"Boleh aku cium lagi?" Kedua matanya menelusuri setiap sudut wajah yang menakjubkan itu dengan seksama lalu ia juga menyentuh helai rambutnya lembut perlahan, "Anda adalah sebuah mahakarya yang indah." Wajahnya benar-benar dekat, dan satu kecupan lagi pada bibir di lakukannya.
Lagi-lagi dia mengatakan sebuah pujian manis, apa dia sadar dengan perkataan yang dia katakan itu.
Yeosang menahan nafasnya sekejap, kenapa, padahal perkataannya biasa saja dan ini hanyalah sebuah kecupan. Ini konyol, rasanya seperti tenggelam sampai ke wilayah laut paling dalam. Ilmu sihir macam apa yang dia pelajari sebenarnya.
Atau mungkin karena perasaan kesepian yang lama. Yeosang jadi benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. "Berhenti bicara formal, bicaralah seperti biasanya.. itu membuatku-"
"Aku mengerti."
Yeosang memalingkan wajahnya lagi, mau mabuk atau tidak tetap saja Jongho seorang yang penurut. Aroma Jongho rasanya seperti Rum, dan suara miliknya terdengar bertambah berat. Serius, berapa banyak yang dia minum, "Boleh aku pergi sekarang? Kakiku dingin karena kita berdua masih di halaman pintu."
Jongho langsung berjongkok, kedua tangannya menyentuh kedua telapak kaki Yeosang. Hangat. Lalu ia melihat ke atas, "Aku minta maaf.. apa masih dingin sekarang?" Katanya.
Gugupnya bertambah, kenapa setiap ucapan dan perlakuan Jongho benar-benar selalu berhasil membuatnya menggigit bibirnya sendiri "Tidak.. sekarang sudah hangat." Yeosang berusaha untuk tetap tenang, lalu menariknya untuk kembali berdiri.
"Ayo pergi, jangan di sini." Jongho menggenggam jemarinya dengan lembut, membawanya menuju ruang tengah. Jongho membuat Yeosang begitu kaku. Sungguh apakah ini semua benar?
"Sekarang masih marah?"
"Sudah tidak.."
Jongho diam lumayan lama sambil terus menatapi Yeosang, sekarang apa? Haruskah Yeosang menamparnya keras agar sadar? Menyiramnya dengan segelas air atau apa? Masih dengan raut wajah yang begitu stress terlihat dari pandangannya. Apa sesakit itu Jongho? Seberapa menderitakah dia sampai menunjukan wajah seperti itu. Yeosang bergulat dengan pikirannya sendiri.
"Kenapa menatapku begitu."
"Kau cantik," Jongho tersenyum begitu tulus, "Aku ingin melihatmu sampai aku bosan. Tapi sepertinya tidak akan pernah bosan.."
"Hentikan." Apa Jongho benar-benar menyukainya? Apa yang dia pikirkan ketika memang seperti itu, dan kenapa bisa terjadi, "Kenapa kau seperti ini padaku.." semua ini begitu membingungkan.
Jongho memperhatikan Yeosang lebih dalam, mendekat dan mengusap pipi kanan orang yang ia sukai itu dengan hati-hati, "Keluarkan semua yang ada di dalam pikiranmu, tanya apa saja padaku, dan maki aku sebanyak yang kau mau jika itu semua bisa membuatmu merasa lebih baik.."
Dan kini kembali sepi, yang terdengar hanyalah suara orang-orang sibuk dari luar yang memulai hari mereka masing-masing. Sungguh? Sekarang sudah jam empat pagi. Haruskah Yeosang pergi juga? Haruskah sekarang? Yeosang mengepal kedua tangannya, hendak berdiri tapi tidak terjadi, Jongho menahannya lagi.
"Jangan pergi."
"Aku harus kerja."
".... Benar-benar harus pergi?"
Mata itu lagi, tatapan yang Jongho berikan begitu memilukan hati. Yeosang melangkah mendekat menyentuh sisi mata Jongho, "Rasanya sakit sekali?" Tanyanya dan Jongho membiarkan kepalanya di letakan pada telapak tangan Yeosang, mengangguk sembari menutup kedua mata. "Aku minta maaf, aku menyakiti perasaanmu." Sambungnya.
"Ayo berciuman.."
"H- uh?"
Jongho yang masih duduk meraih pinggang Yeosang, memeluknya dengan posisi Yeosang yang masih diam berdiri di depannya. "Aku tidak pernah memintamu untuk minta maaf, ini kesalahanku sendiri. Aku tahu ini membingungkan. Tapi aku juga tidak bisa menjelaskannya dengan rinci.." Jongho mendongak melanjutkan, "Kau bisa membenciku mulai besok, mengusirku dari sini, atau pergi jauh dari di mana kau berada. Aku cukup tahu diri jika memang aku tidak bisa memilikimu setiap hari, jadi izinkan aku untuk memilikimu seharian ini saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
my yeosang; Jongsang
Fanfiction[REVISI] Kang Yeosang yang logis dan Choi Jongho yang optimis. "Aku kesal karena tidak bisa marah pada takdir." "Kalau begitu marah saja padaku." "Kenapa harus?" "Karena aku takdirmu." ••• Saat Fajar. ©Iceteez On going