24. rahasia?

297 60 22
                                    

Tiga hari, dan sekarang juga sudah gelap.
Selama tiga hari Jongho baru pulang karena masalah yang ribut sekali di kampusnya. Ia membuka pagar, masuk ke dalam rumah melepas sepatu miliknya dan juga jaket yang ia pakai. Sudah terlihat dari luar tadi jika tidak ada siapapun di sini. Atau memang Yeosang tidak pulang, kerjanya lembur lagi?

"Mr. Kang?" Panggilnya memastikan.

Jongho menyimpan semua yang dibawa bersamanya ke kursi dekat jendela kemudian pergi mandi. Isu sensitif yang terjadi kali ini melibatkan beberapa mahasiswi di kampusnya. Jongho tidak tahu berapa atau siapa saja karena hanya dua di antara mereka yang berani angkat bicara dan mulai memprotes, dan mereka juga punya banyak alasan takut untuk lapor ke polisi. Jongho mengumpulkan semua perwakilan dari semua organisasi yang ada di kampus miliknya dan ternyata rumor tentang ini sudah tersebar keluar kampus lain.

Kepala Jongho rasanya akan meledak dan otaknya terkurai keluar secara perlahan. Bagaimana bisa suatu hal itu baru naik ke permukaan sekarang. "Aku merindukanmu.."

Jongho selesai dengan mandinya, berpakaian dan pergi untuk mengisi perut. Semua yang ada di sini nyaris tidak ada apa-apa yang bisa dimakan. Yeosang mungkin tidak makan di rumah karena Jongho tidak ada. Di sini hanya ada gelas-gelas kotor bekas kopi yang belum dicuci. "Apa kau makan dengan baik, Mr. Kang? Haa.. maafkan aku, seharusnya aku menyempatkan untuk pulang sebentar."

Clak!

Jongho menoleh ke arah pintu dan masuklah Yeosang di depan sana dengan setumpuk kertas yang dibawanya. Merasa lampunya terang di sini Yeosang menjatuhkan kertas-kertas itu di pinggir pintu rak sepatu yang bersebelahan dengan tempat payung. Yeosang melihat ada seseorang berdiri di dapur, itu Jongho.

Ia berjalan cepat mendekatinya lalu menampar Jongho sangat keras pada pipi kanannya. Tanpa satu kata apapun yang keluar ia hanya diam berdiri berhadapan. "Kau bisa menamparku lagi jik-"

Plakk!

Di pipi yang sama dengan tamparan yang lebih keras. Bahkan rasa perihnya juga terasa pada telapak tangan yang Yeosang gunakan. "Apa perlu aku ingatkan kembali bahwa nyawamu milikku dan kau hanya bisa mati di tanganku.." kata Yeosang tanpa menatapnya dengan benar, ia melihat lantai sedari tamparan pertama tadi dengan napas yang terengah-engah menahan amarah.

"Aku tahu," Jongho menarik tubuh Yeosang dan memeluknya lembut. "Aku minta maaf."

"Aku kira aku tidak akan melihatmu lagi." Kata Yeosang, kepanikan akan kehilangan sesuatu yang penting baginya tidak pernah bisa hilang atau terkontrol baik dan terus menerus terulang. Itu membuatnya takut.

Yeosang melepas pelukan Jongho dan memeriksa pipi yang ia tampar tadi. "Maaf menamparmu."

Jongho menggeleng, "ini sakit.. tapi tidak apa-apa, aku merindukanmu."

"Aku.. juga."

Kini di ruang kerja Yeosang,
Jongho duduk di kursi lain yang menghadap ke meja memperhatikan Yeosang yang sibuk dengan salinan laporan berita miliknya, "Aku harus menginap di kampus karena sesuatu yang serius.."

Sejujurnya Yeosang tahu apa 'sesuatu' yang Jongho maksud sekarang karena di kantornya juga sama ricuhnya. Panggilan telepon yang tidak tahu siapa beberapa hari lalu cukup mengejutkan kantornya. Entah haruskah Yeosang mengatakan saja bahwa kasus yang menimpa mahasiswi di kampus Kiaran adalah bahan yang ia pakai untuk beritanya sekarang.

Tidak, mungkin jangan dulu. "Hal serius apa?" Tanya Yeosang.

"Untuk sekarang aku belum bisa bilang."

"Baiklah."

Di kantornya semua orang bertingkah seolah pelecehan adalah sebuah hal yang 'tidak besar', orang yang menelepon Yeosang waktu itu berusaha menelepon pihak lain untuk mecoba mengadu tapi tidak ada yang menangapinya serius. Yeosang menyakinkan atasannya untuk membahas kejadian ini tapi karena pemilihan presiden sebentar lagi di lakukan itu semua mustahil. Apa yang harus Yeosang lakukan agar kasus ini berjalan tanpa menyentuh politik.

my yeosang; JongsangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang