﹝selamat membaca﹞
Hari-hari berupa hitam putih pun berlalu. Kabut yang beradu mulai surut, kini hanya tinggal kata yang kian menggunung pada bait-bait beranda yang berdebu.
"Ayo, Aya coba bangun," kata Bunda.
Joa yang terduduk di sampingnya pun turut membantu menahan tengkuk serta punggung Aya. "Bisa? Pelan-pelan aja."
"Hati-hati wa, adik ipar aing itu," celetuk Bang Thama.
"Ini teh pelan-pelan. Maneh ngga liat emang?"
Perlahan Maia pun mengangkat tubuhnya sampai posisi duduk. Rasanya itu, kalau tidur ngga gerak sampai pagi, bangun-bangun leher langsung pegel ngga karuan. Bedanya, Maia tidur selama tiga bulan.
"Pegel ngga badannya? Mau Bunda pijitin?"
Yang ditanya pun menggeleng pelan. Senyum manis terpatri di wajahnya Maia.
Ya Allah, Joa mau terbang aja.
"Mau peluk Bunda," ujar Maia perlahan.
Dengan segera Bunda mendekapnya erat. Sorot matanya kian meneduh, rasanya melebur di pelukan Bunda.
"Ih Bunda, gantian. Aga juga mau peluk Aya," rengek Joa sambil memajukan bibirnya.
"Idih kamu mah mau aja kalau bagian kaya gini," jawab Bunda.
BRAKKKKKKKK
"MANA SI AYA TEH, MANA." Ini anak satu memang ngga bisa diragukan lagi. Dateng-dateng banting pintu, besok katanya mau banting tulang buat kamu.
"Kalem atuh, Edar. Aya ngga akan ilang," ujar Ningning.
"Teuing, riweuh pisan budak teh." Jevan memutar bola matanya malas.
﹙Ngga tau tuh, rusuh banget.﹚Haidar yang rusuh sendiri langsung berjalan cepat ke arah Maia. Ia rengkuh daksa rapuh itu, di hadapan Joa dan yang lainnya.
Bang Thama yang melihatnya sontak tertawa girang. "HAHAHAHAHAHAHAHAHAHHA kalah lu sama si Edan."
Joa menarik Haidar dan menyeretnya jauh sampai ke sofa. "Apa sih lu maen peluk-peluk aja. Gue aja belom kebagian."
"Aya gimana? Ada yang sakit ngga?" tanya Ningning.
Maia terdiam sejenak, dahinya mengernyit kebingungan. "N-ngga ada. Hm, kamu siapa?"
Dua kata. Kamu - siapa?
Terlalu lama melautkan rindu di dera waktu yang terus menderu. Jauh di sini, kenangan kian riuh dan gaduh. Tapi dia, miliknya sudah luruh.
Bunda meraih pergelangan tangan Aya, perlahan jemarinya kembali mengusap telapak tangannya yang dingin. "Aya, inget Bunda?"
"Iya. Bunda itu bundanya Aya."
"Terus Aya inget apa lagi?"
"Ngga tau. Aya cuman tau Bunda aja."
Ayolah, mengapa semesta terus menghujam harsa dengan lara. Baru saja ingin menutup luka di malam yang tak lagi purnama, namun ia lagi-lagi menyuarakan jangan harap.
• • •
"Amnesia sementara. Aya kehilangan sebagian besar ingatannya karena cedera parah di bagian kepala waktu ia mengalami kecelakaan di Lembang."
﹝bersambung﹞
aku si mental yupi bi laik :
KAMU SEDANG MEMBACA
Eunoia ✓
Teen Fictionshort story; ft. winter, sungchan "Pada akhirnya, lantunan kenangan hanya untuk merayakan kepergianmu di bawah musim penghujan." © arclatein, 2021.