Part 1 - Insiden

16 0 0
                                    

Bahagia itu sederhana bagi mereka yang pandai bersyukur atas Nikmat Tuhan yang di berikan. Tidak ada manusia yang lepas dari sebuah masalah, setiap orang memiliki perbedaan bahkan jika mereka kembar sekalipun. Bagi sebagian orang yang memiliki finansial lebih, bahagia mereka terletak pada kartu kredit. Namun, bagi mereka yang memiliki finansial lemah, bahagia mereka terletak pada satu garis senyuman pada wajah.

Setitik awan tak terlihat pada langit pagi hari ini, seakan memberikan ruang pada matahari mempertunjukan jingganya yang jarang terlihat akhir-akhir ini. Semalam hujan turun membasahi bumi hingga subuh, menyebabkan pagi ini menjadi sangat sejuk. Gadis berusia 16 tahun itu masih setia di depan jendela kamarnya dengan seragam SMA yang sudah melekat pada tubuh mungilnya. Semilir angin menerpa wajahnya, menebarkan anak rambutnya. Senyum tercipta pada wajahnya ketika yang dia tunggu sedari tadi hadir. Cahaya jingga menyapa lembut senyumanya.

“Ail! Sarapan nak”, panggil sang Bunda di depan pintu.

“sebentar Bun, ini udah mau selesai”, jawabnya tanpa mengalihkan tatapan pada objek yang sedari tadi di tatapnya.

Bunda menghela napas halus dengan menggelengkan kepala, “ya udah, jangan kelamaan ntar telat kesekolah”, setelah mengatakan itu Bunda berlalu pergi.

“Hai jingga!, buat hari ku secerah warna yang telah kamu tebar”, ucapnya dengan semangat disusul senyum pada bibirnya.

***

“Hari ini Ail ngga bisa bantu Bunda untuk order kue, ngga apa-apa kan, Bun?”, Tanya Ail hati-hati. Hari ini dia tidak bisa membantu untuk mengantarkan pesanan Bundanya karena akan ulangan kimia, dia harus membaca kembali buku paketnya, semalam dia tertidur, hujan menimangnya dengan sangat lembut, dibantu selimut yang memeluknya dengan hangat.

“Iyaa, ngga apa-apa, ketiduran lagi?”,
Ail meringis dengan tersenyum malu mendengar pertanyaan Bunda.

“Aku pamit yah Bun, Ayah mana?”, Ail bangkit dan pamit pada Bunda yang sedang menyusun kue.

“Di teras paling, lagi ngopi”, jawab Bunda seadanya.

“Okedeh, Assalamualaikum”, Ail mengambil tasnya, melangkah ke depan untuk pamit pada Ayah.

“Ayah, Ail pamit mau ke sekolah”, Ail menyalami Ayah dengan lembut.

“Iyaa, hati-hati. Mau Ayah anter ngga?”, tawar Ayah.

“Ail sepedaan sendiri aja, lagian bel masuk masih 30 menit lagi”.

“Ya udah, iyaa. Jangan ngelamun kalo lagi ngayuh sepedanya”, pesan Ayah pada kebiasaan buruk anak gadisnya itu.

“Hehehe, siaap Ayah, Assalamualaikum”.

“Waalaikumsallam warrahmatullah”

Ail mengayuh sepedanya dengan santay, dia tidak akan melewatkan moment ini, dimana penghuni komplekya masih berada dalam rumah. Jalanan masih sepi, hanya satu dua kendaraan beroda dua maupun empat yang melewatinya. Dia tinggal di komplek yang berisikan orang-orang perkantoran, jadi tidak heran jika 15 menit sebelum jam 7 para pekerja itu akan berangkat.
Ail menghirup udara dengan rakus, sangat jarang mendapatkan udara se-sejuk ini di kota. Belokan depan dia akan bertemu dengan jalan raya, yang artinya akan berhadapan dengan polusi udara dan macet. Untungnya dia memakai sepeda, jadi dia akan berkendara lewat jalur khusus.
ketika sampai pada belokan ,Ail melambatkan sepedanya, hingga tiba-tiba dari arah belakang ada yang menyerempetnya, menyebabkan dia kehilangan keseimbangan dan ….

“eh eh eh eh”, cicit Ail dan terjatuh.

“Aduuuhhh”, Ail mengaduh dan memegangi siku dan kakinya yang terhimpit sepeda.

A Twin StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang