Kita di lahirkan untuk menjadi nyata
Bukan untuk menjadi sempurnyaAstra Pov
Aku kembali kehilangan cahaya, mimpi yang hampir tercapai itu sekarang menghilang seperti debu yang tertiup angin. Di keadaan sekarang sangat sulit untuk mengumpulkan hal-hal yang telah hilang itu. Aku mulai kesusahan untuk menarik dan menghembuskan napas. Begitu sakit sehingga ingin mati saja.
Setiap saat, setiap waktu aku terus sadar akan satu pertanyaan "Apakah aku sudah puas dengan diriku yang seperti ini?" ketika aku mencari arti sebenarnya, tanpa tujuan aku pun jadi gila akan memikirkan jawaban. Setiap hari pertanyaan demi pertanyaan mulai muncul kembali di dalam otakku, dan hampir tak semuanya aku temukan jawabannya.
Sekarang aku kembali berfikir, dunia begitu kejam untuk orang-orang sepertiku. "Lemah dan pengecut. Ya aku menyadari itu ada pada diriku sendiri. Kenapa sering sekali diri ini memberikan beban untuk orang-orang disekitar. Saking banyaknya fikiran hampir membuatku jadi gila karna terus memikirkan hal-hal yang tak patut di pertanyakan itu. Semua orang menyalahkan aku akan hal yang di lakukan. Terkadang aku juga sering memikirkan, apakah diriku masih hidup? Atau sudah mati?
Apa sebaiknya aku mati saja?
Ah tidak-tidak, masih banyak urusan yang belum aku selesaikan. Aku tidak mau nanti Bunda dan adikku menangisiku dan membawa beban yang lebih berat untuk mereka, cukup hanya aku saja yang merasakan itu semua.
Kasihan sekali hidupku, terombang ambing kesana-kemari seperti tak tahu arah dan tujuan. Seperti orang gila yang tidak punya tujuan hidupnya. Dari saat Ayah menikah lagi aku di paksa belajar siang malam oleh pria tua sialan itu. Tidak peduli kondisi tubuhku seperti apa, dia tetap memaksaku belajar. Wanita barunya itu pun juga tutup mata dan telinga seolah-olah aku ini binatang ternak yang di pecut setiap harinya oleh sang pemilik.
Aku tak bisa menarik kembali kata-kataku dan juga tak akan bisa bilang aku menyesal akan semua hal yang telah terjadi. Setiap kali menemukan jalan keluar aku di hadapi lagi dengan kegelisahan. Sangat lemah dan pengecut.
Sekarang aku kembali lagi kerumah ini, berdiri di depan pintu putih besar sambil menghela napas berat. Bukan kemauanku untuk datang lagi ke sini, Pria tua itu mengancamku dengan hal yang paling tidak aku sukai. Memanfaatkan kelemahan terbesarku, yaitu Bunda dan Ruri. Aku bersumpah akan membunuh pria tua itu jika berani menyentuh dua wanita yang paling aku sayangi. Walau pun dia yang aku sebut Ayah sekali pun.
Saatku buka pintu, tampak dua orang yang tak asing lagi bagiku. Seorang wanita simpanan yang sedang duduk sambil menyeruput teh panasnya, lalu ditemani suaminya yang sedang membaca koran. Terlihat harmonis seperti keluarga yang semestinya di inginkan orang-orang. Duduk di ruang tamu sambil membicarakan hal-hal yang menyenangkan. Tapi bukan itulah yang terjadi pada keluarga ini sekarang, apa yang di lihat sangat berbeda jauh dari apa yang di bayangkan orang-orang.
"Astra, kau pulang?" Wanita simpanan itu kembali mengambil perhatian dari Ayah. Membuatku muak dengan kebohongan yang tampak jelas itu.
Aku hanya mengabaikan Wanita itu, berjalan ke arah Ayah. Sambil menatap tajam padanya lalu memukul meja yang berada di depannya.
"Sopan santunmu kemana?" pria tua itu berlagak seperti Ayah yang mendidik anaknya. Padahal kalau di lihat lagi dialah yang membuat aku seperti ini.
"Astra, kau tidak mendengarkan Ibumu?"
"Dia bukan Ibuku!"
Aku tidak salah mengatakan itu, tapi kenapa Pria itu menamparku begitu keras? Ujung bibirku kembali mengeluarkan darah. Bisaku lihat wanita itu sedikit tersenyum melihatku tersiksa seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Euphoria
Teen FictionHiro, begitulah orang-orang memanggilnya. Seorang penyendiri yang pernah kehilangan hebat di masa lalu hingga merenggut terang kehidupannya. Ia harus merasakan sendiri pahit dan kelamnya kehidupan. Membuat ia harus mengambil jalan yang salah, dan be...