Beban

84 41 77
                                    

Sewaktu berumur tujuh tahun, kala itu Aku masih kelas dua sd. Setelah kejadian satu tahun yang lalu, semua teman sekelas menjauhiku. Tidak ada yang mau berteman atau mengajakku untuk berbicara, sama sekali tidak ada. Jangankan untuk mengajak bicara, sekedar tersenyum saja tidak mau. Saat mendekat, mereka malah mengusirku untuk pergi jauh-jauh. Bukankah perlakuan mereka diumur yang masih terbilang sebiji jagung itu sangat jahat?

Aku tidak menyalahi mereka karena mungkin bukan sepenuhnya juga kesalahan mereka, tapi kesalahan orang tuanya. Anak sekecil itu sudah di doktrin untuk melakukan kejahatan, bukankah orang tua mereka sedikit keterlaluan? Menghasut anak-anaknya untuk menajauhiku. Kata mereka aku anak seorang pembunuh, jadi tidak ada alasan untukku kelak jika berperilaku seperti Ayah.

Pernah kala itu saat pembagian kelompok semua orang mengabaikanku, tak ada yang mau memasukkanku kedalam kelompoknya. Bahkan mereka melempar-lemparku dari kelompok satu ke kelompok yang lain, saking tidak maunya satu kelompok dengan diriku. Dan alasannya masih sama 'Aku anak seorang pembunuh'.

Mengingat kembali kisah itu membuatku tertawa miris. Saking menyedihkannya diriku kala itu. Dari di tinggal keluarga, mendapat perlakuan tak wajar dari panti asuhan, hingga di jauhi oleh orang-orang karena hal yang sama sekali bukan kesalahanku. Mengapa dari milyaran orang malah aku yang mendapatkan kesialan itu. Sangat kejam sekali dunia ini, menghukum anak berumur delapan tahun karena kesalahan yang di perbuat oleh Ayahnya sendiri.

Hari demi hari berlalu, Aku pun masuk ke sekolah menengah pertama dimana itu masa yang paling kelam untukku. Ingin sedikit membaur pada orang-orang tapi tidak bisa dan berakhir lagi dengan ke sendirian. Aku sedikit keluar jalur kala itu, dari menindik telinga hingga membuat sebuah tato di lengan kiri yang bergambar sebuah rumah kecil yang terbelah dua. Bukankah kalau di liat lagi arti sebuah tato itu kalian akan paham dengan keadaanku kala itu.

Aku sering merindukan kehangatan rumah yang sama sekali tidak pernah aku dapatkan di keluarga yang hancur. Terkadang aku sangat iri dengan teman-teman yang dijemput pulang sekolah oleh orang tuanya. Saat tengah hujan lebat orang tua mereka sepenuh hati memayungi anaknya, bahkan mereka rela lengan kirinya basah agar anaknya tidak terkena hujan, aku juga ingin merasakan itu. Bagaiamana rasa masakan Ibu dan pelukan hangat dari Ibu kala sedang sakit.

Terlihat kekanakan.

Mungkin kalau kalian tidak mengenalku akan mengatakan hal seperti diatas. Tapi untuk anak yang ditinggal keluarga dari kecil bukankah itu hal yang wajar? Kehilangan kasih sayang di umur yang masih perlu pengawasan dan perhatian dari mereka.

Selama ini aku mencoba untuk terlihat kuat, akan tetapi itu sangat menyakitkan. Setiap malam selalu saja overthinking, memikirkan hal yang tidak penting untuk di pikirkan. Badan dan pikiran cukup lelah. Bagaimana dengan langkah mengakhiri hidup? Apakah itu bisa langsung mematikan seluruh ingatan tentang kejadian mengerikan selama aku hidup?

Laki-laki pengecut, lemah, lembek, cengeng.

Bukankah itu yang ada di pikiran kalian saat membaca kisah hidupku. Mungkin aku perlu mengingatkan kalian lagi tentang satu hal, cobalah berada di posisiku sesekali. Semua orang terus berkata omong kosong, membuatku ingin tertawa saja.

Jangan sedih. Bukan kamu saja yang mengalami masa sulit seperti ini, masih banyak orang yang lebih parah dari kamu.

Setiap mendengar perkataan itu, aku ingin sekali mengumpat di depan mereka. Aku tau masih banyak orang yang mempunyai penderitaan yang lebih parah dari diriku. Hanya saja coba kalian pikirkan lagi, bukankah setiap orang punya masalah dan cara penanganannya masing-masing? Tidak semua orang bisa tegar dengan masalah yang mereka alami, bahkan ada yang berujung dengan mengakhiri hidup. Bukankah orang yang masih bertahan hidup dengan penderitaannya bisa dikatakan orang yang paling kuat?

EuphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang