Denting jam gemerisik di kamar yang sunyi. Embun masih terasa basahnya, ini hari kedua aku berada di kota orang. Sebelum Bang Tama dan Mbak Tanti memulai aktivitas harian, aku berusaha lebih dulu bangun, membersihkan rumah walau hanya menyapu.
Kata orang tuaku, kalau menumpang di rumah orang, sebisa mungkin buat pemilik rumah nyaman dengan keberadaan si penumpang. Aku mengerti. Kulihat meja makan masih kosong melompong, ada baiknya aku memasak sarapan sederhana untuk keluarga Bang Tama.
Rampung menyapu rumah, aku menyibukkan diri di dapur. Di kulkas terisi beberapa bahan mentah. Mi kering dengan beberapa macam sayur. Ide muncul untuk membuatkan keluarga Bang Tama mi goreng.
Sekitar satu jam berkutat dengan alat memasak, akhirnya jadilah mi goreng yang menurutku spesial untuk ukuran wanita sepertiku yang tidak pernah menyentuh dapur sebelumnya.
Kutengok melalui jendela dapur yang menghadap ke rumah dinas militer di seberang sana. Letak posisi rumah dinas berseberangan, semuanya kembar. Mulai dari warna sampai bentuk interiornya. Jarak antara rumah satu dengan lainnya juga dekat. Bukan dekat lagi, justru menempel.
Mataku tak sengaja fokus memandang jendela dapur rumah seberang, terlihat aktivitas seorang wanita seperti menyiapkan bungkus-bungkus makanan. Mungkin istri tetangga seberang berprofesi sebagai pedagang.
"Heh, ngintip siapa?" Bang Tama menepuk pundakku, hampir saja aku melompat kaget dibuatnya.
"Nggak ngintip, orang lagi mandang halaman depan aja, kok."
"Lihat apa di depan?"
"Ya, nggak ada. Itu di sana, dari pagi tadi penghuni rumahnya sibuk bungkus-bungkus makanan, dia dagang apa, Bang?"
"Nasi bungkus, keliling." Bang Tama duduk di kursi meja makan sambil menyeruput teh yang tadi aku buat.
"Keliling jajakan jualan gitu, Bang?"
"Iya, kenapa? Kamu kenal sama orangnya?"
"Nggak. Dia istri tentara seperti Mbak Tanti, 'kan?"
"Iya, kenapa tanya-tanya?"
"Ya, nggak 'papa. Hebat aja, istri tentara tapi nggak malu usaha jualan nasi bungkus keliling. Memangnya gaji tentara kecil, Bang?"
"Kamu itu ... apa salahnya istri tentara jualan? Lagi pula hidup itu nggak perlu dinilai dari materi. Siapa tau di balik usaha tetangga depan, mereka punya impian besar. Mau liburan ke luar negeri atau mau bangun panti asuhan kali."
Aku mengangguk. Benar, hidup ini jika dinilai dari materi tidak akan ada habisnya. Manusia tak pernah puas dengan apa yang dimiliki. Belum lagi pandangan orang lain, siapa yang banyak uang maka dia yang dihormati.
Sudah tepat keputusanku memilih jauh dari orang tua, mungkin di rumah dinas sederhana ini aku bisa belajar banyak. Termasuk Mbak Tanti, yang aku tahu dulu Mbak Tanti hanya kasir di toko. Tinggalnya di kontrakan sempit. Sifat dan sikap Mbak Tanti yang lembut membuat Bang Tama jatuh hati. Jika mengingat perjuangan Bang Tama mendapatkan restu dari orang tuaku, membuatku senyum-senyum sendiri. Bang Tama yang jatuh cinta, aku yang terbawa emosi setengah mati. Namun akhirnya mereka berjodoh. Keren.
**
Namaku Vivian Yasona, adik kandung Sersan Satu Tama Yasona. Jangan bingung dengan logat nama kami, begitulah adanya. Ayah memiliki garis turunan Negeri Tirai Bambu, kami sekeluarga memiliki garis mata agak kecil yang orang sebut sipit. Kulit putih bersih, namun memerah jika tersengat matahari sudah menjadi ciri khas keluargaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
SPASI TANPA JEDA
Любовные романыBerlatar kisah cinta prajurit. Kisahnya nggak gimana-gimana banget. Receh. Seorang wanita yang sengaja ngurus mutasi kerja demi mengejar masa lalunya. Alih-alih bertemu masa lalu malah ketemu orang baru yang lebih bisa membuatnya takut kehilangan. N...