6

26 6 0
                                    

Lalalala ....

Semarak kupu-kupu terbang saling kejar menyambut pagi. Aku berjalan menenteng tas laptop, bersamaan dengan itu, di bagian punggung ada tas agak besar berisi dokumen mengajar. Tidak sabar melewati pos utama, melihat tentara bak patung siap tempur. Melewati pohon besar yang kemarin aku gunakan untuk nongkrong, membuatku senyum-senyum. Kalau diingat lagi, memang agak kurang waras jika dengan santainya aku duduk meleseh di situ makan nasi bungkus.

"Nanti malam jalan, yuk!" Tiba-tiba Robi datang dari arah belakang mengendarai sepeda.

"Diihh ... ngajak-ngajak. Nggak, ah!"

"Yah, mau ngajak nikah belum siap uangnya, jadi ngajak jalan aja dulu."

"Nggak mau!"

"Terus kamu maunya apa?"

"Aku maunya nikah sama Bang Indra, paham?"

"Bang Indra nggak mau sama kamu, duh, kasian banget kamu."

"Sok tau!"

Aku terus berjalan menuju pos utama. Robi juga terus mengikuti dari samping dengan sepedanya.

"Nanti malam aku jemput, ya?"

"Nggak mau! Kenapa maksa, sih!"

"Nggak usah mengharap yang sudah ninggalin kamu."

"Nggak ada yang ninggalin aku, buktinya Bang Indra kembali."

"Bang Indra memang ada, tapi bukan untuk kembali. Bang Indra sudah nikah, nggak perlu diharap lagi."

"Serius?" Mataku melotot. Jika memang benar seperti itu, semesta Vivian bergejolak. Akan kudendangkan syair patah hati berhari-hari. Elegi berkabung sepanjang masa.

"Gitu amat nanggapinya? Wkakakakakak ...," tawa Robi menggelegar. Ah, dari efek suara Robi, aku tahu dia bohong. Kurang ajar!

"Target baru, Rob!" tegur laki-laki berbaju loreng mengendarai motor.

"Siap, Bang!" jawab Robi lantang. Laki-laki itu melesat pergi menuju markas.

Apa katanya tadi? Target baru? Ohhh ... berarti sudah pernah ada target lama. Dasar playboy. Aku harus hati-hati dengan Robi, lagian dia bukan siapa-siapa. Dijadikan teman, memang sangat cocok.

Aku meneruskan perjalanan keluar gerbang utama. Robi menjagang sepeda di sebelah pagar. Dia mengikutiku sampai di atas trotoar.

"Nanti malam aku jemput jam tujuh," paksa Robi.

"Nggak mau!"

"Ya, pokoknya aku ngapel ke rumah Bang Tama jam tujuh."

"Terserah, aku tetap nggak mau."

"Terserah, aku tetap mau."

"Iiihhhh ...," geramku sambil memukul dada Robi.

"Pukulan ternikmat setelah pukulan Ibu di bokongku waktu aku nyuri mangga di rumah tetangga. Sekarang dapat pukulan dari kamu, wajar sih, saat ini keberadaanku memang sebagai pencuri. Mencuri celah di hatimu, menemukan ruang kosong agar aku bisa tinggal di dalamnya."

Kendaraan begitu ramai, sejak tadi kuurungkan niat menyeberang. Terpaksa mendengar rayuan maut Robi.

"Ruang hatiku sudah penuh, nggak ada lagi celah kosong, sudah ada yang ngisi," kataku kesal.

"Kalau gitu, setelah sampai di hatimu, aku berubah jadi pembunuh. Membunuh siapa pun itu yang mengisi ruang hatimu."

"Penjahat!" Aku masih berdiri tanpa menoleh ke arah Robi.

"Makanya penjarakan aku di hatimu yang paling dalam, supaya aku nggak kabur."

"Kabur aja sana, apa urusanku!"

"Nggak bisa kabur, terlanjur terbelenggu ketulusan."

Kenapa ... kenapa ... kenapa!!!! Kenapa aku bertemu laki-laki semacam ini? Tanpa merespon, aku berjalan menyebarang. robi tidak mengikuti. Seperti halnya kemarin, dia hanya memastikanku baik-baik saja dari seberang jalan. Aku menoleh padanya, tetap, dia masih di sana. Jangan menoleh lagi, Vivian, hanya akan membuat Robi besar kepala.

**

SPASI TANPA JEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang