Ketika jam istirahat mengajar seperti ini, kumanfaatkan melihat-lihat pemandangan di luar. Oh ... pangeranku sedang bermain di lapangan bersama anak-anak. Kali ini basket adalah olahraga yang sedang dia lakukan. Mendribel bola lalu memasukkan ke keranjang bola, masuk, tepat. Semakin gemas, rasanya ingin kuremas-remas otot lengannya.
Begitu terpesona memandangnya dari balik pintu kelas. Tanpa sengaja Pak Deni juga melihat ke arahku. Ciee ... pandangan dua sejoli saling tabrakan. Ups ... Pak Deni memberikan bola basket pada muridnya lalu berjalan ke arahku. Sebelum dia melihat, kurapikan sedikit poni yang menutupi jidatku.
"Bu Vivian, apa sibuk malam ini?" tanya Pak Deni.
Yyeeahh ... dia mau mengajakku kencan. Pasti ... itu pasti!
"Oh, nggak, Pak," jawabku semringah. Semangat membara mengalahkan kobar api.
"Bisa hadir, ya, malam ini di rumah saya? Nggak semua guru saya undang untuk acara nanti malam, tapi untuk acara yang ini ...." Pak Deni menyerahkan kertas mirip undangan. "Sudah pasti semua rekan guru saya undang. Nanti malam baru tunangannya."
Gemetar hebat, aku menerima kertas berbau harum itu. "Pa ... Pak Deni mau nikah?"
Dia tersenyum. "Betul, Bu. Spesial untuk Bu Vivian, saya undang pribadi di acara tunangannya juga. Dimohon kehadirannya bersama partnernya, ya."
Spesial untukku? Spesial jidatnya itu, rasanya aku ingin ngemil meja kursi siswa sekaligus semua tas siswa dicocol pakai darah pedas. Jahat! Semua orang jahat!
Kenapa selalu saja, di kala harapanku mulai melambung, belum tinggi sampai tujuan selalu jatuh dan hancur berkeping-keping.
"Bu? Halo ... Bu Vivian?" Pak Deni melambai-lambaikan tangan depan wajahku.
Senyumku kecut. "Terima kasih undangannya, Pak Deni. Permisi ...."
"Bu Vivian mau ke mana?"
"Ke kantin, cari oseng-oseng geranat," balasku jutek. Muak melihat wajah Pak Deni. Dia bukan lagi idola, ototnya hanya remahan batako bagiku. Kuat di awal, setelah dibanting akan hancur juga. Wajah gantengnya hanya roti cokelat yang terbungkus plastik rapi di rak supermarket, menarik dipandang tapi akan kadaluarsa pada akhirnya. Cuuiihh ....
Coret rangkaian huruf yang membentuk nama 'Deni' di otak. Buang jauh-jauh. Jangan mengulang kebodohan diri sendiri. Eh, tunggu ... bukankah waktu itu Pak Deni ingin main ke rumahku? Tujuannya apa kalau bukan ingin mengenalku lebih dekat?
"Maaf, Pak Deni, bukannya waktu itu nanya di mana rumah saya? Ada perlu apa, ya?" tanyaku penasaran, terpaksa aku kembali mendekatinya.
"Oh, yang itu, ya saya mau antar undangan ini. Takut kurang sopan kalau berikan di kelas, tapi biar sama seperti rekan guru lain, saya bagikan serentak di sekolah aja."
"Oh begitu. Oke ...." Aku melengos meninggalkan Pak Deni. Di depan kelas, aku meludah ke kiri. Cuihh ... membuang sial. Dia pikir cuma dia laki-laki paling ganteng di dunia, aku tidak butuh yang ganteng. Yah, menghibur diri boleh-boleh saja, kan?
**
Mobil Pak Deni masih terparkir di tempatnya ketika aku memilih duduk sebentar di sebelah penjual gulali. Mobilnya sudah tak semewah kemarin, bagiku sekarang hanya seonggok mobil rongsokan milik buaya putih yang hidup di darat. Kenapa dari awal tidak mengatakan jika sudah memiliki jodoh? Malah bersikap manis dan misterius padaku. Kurang ajar!
"Pak, Gulalinya lima!"
"Iya, Bu Guru, mau bentuk apa?"
"Bentuk batako semua!"

KAMU SEDANG MEMBACA
SPASI TANPA JEDA
RomanceBerlatar kisah cinta prajurit. Kisahnya nggak gimana-gimana banget. Receh. Seorang wanita yang sengaja ngurus mutasi kerja demi mengejar masa lalunya. Alih-alih bertemu masa lalu malah ketemu orang baru yang lebih bisa membuatnya takut kehilangan. N...