Berisik ... ada suara berisik di luar. Samar kudengar, tapi aku malas mengintip di jendela. Beban tadi malam terlalu berat, baru pertama kali seumur hidup aku merasakan sakit sesakit itu sampai tak menyangka kalau tadi malam itu termasuk malam panjang bagi sebagian anak muda. Malam minggu yang bersambut pagi ini dengan libur yang kunanti. Akan kuhabiskan mendekam dalam kamar saja. Aku tidak ingin memasak, membereskan rumah, apa pun itu. Aku hanya ingin memejamkan mata, siapa tahu setelah aku membuka mata, semua ini hanya mimpi. Semoga saja keputusanku bermalas-malasan hari ini diterima oleh keluarga Bang Tama.
Duhh ... kenapa terdengar suara ketukan pintu? Aku tidak ingin melihat dunia sehari ini saja. Dengan malas-malas aku buka pintu kamar. Mata bengkak sisa memangis semalam masih mewarnai raut wajah.
"Tumben baru bangun?" tegur Mbak Tanti di balik pintu kamar yang sudah kubuka.
Aku kembali membaringkan diriku di atas kasur. "Maaf, ya, Mbak, hari ini aku nggak buat sarapan. Aku maunya baring aja di kamar."
Mbak Tanti duduk di atas kasur, mengelus rambutku. "Harusnya dari awal kami nggak sembunyikan semua darimu. Mbak cuma ikuti perintah Bang Tama, tujuannya untuk menjaga hatimu, eh, malah jadi gini."
Apa Mbak Tanti membahas tentang semalam? Aku sedang tidak ingin. Mereka memang salah, menurutku. Benar, harusnya sejak awal sebelum kepindahanku ke sini mereka memberi tahu tentang Indra ... Yana. Aaahh ... menyebutkan namanya saja kelu rasa bibirku. Pahit, asam, perih, semuanya.
"Nggak apa-apa, Mbak," balasku singkat.
"Temani Mbak, yuk, sebentar aja," pinta Mbak Tanti menggoyang-goyangkan tubuhku.
"Duuhh ... ke mana, sih, Mbak? Aku nggak pengen ke mana-mana hari ini."
"Sebentar aja, temani Mbak keliling naik sepeda. Ayolah, pliiisss ...." Mbak Tanti memelas. Melihat raut wajahnya membuatku tak bisa menolak ajakannya.
"Aku nggak punya sepeda, Mbak!"
"Kamu pakai sepeda Bang Tama aja."
"Kenapa nggak pergi sama Abang?"
"Abang pergi sama Dio ke stadion. Ayo, temani Mbak."
Baiklah ... dengan sejuta malas aku beranjak dari kasur. Mencuci wajah seadanya. Memoles wajah dengan bedak tipis dan pewarna bibir yang senada dengan warna asli bibir. Di luar, Mbak Tanti sudah menunggu dengan sepedanya. Dia juga sudah menyiapkan satu sepeda lagi milik Bang Tama untukku.
"Rutenya ke mana, Mbak? Jangan jauh-jauh, ya, kepalaku agak pusing," kataku.
"Kepalamu pusing karena bangun kesiangan, masa anak gadis bangun siang-siang, jauh jodoh baru rasa!" goda Mbak Tanti. Kubalas senyum tipis.
Sudah tak sudi menengok rumah tetangga seberang. Langsung aku kayuh sepeda ini mengikuti ke mana perginya Mbak Tanti. Kata Mbak Tanti mengayuh sepedanya di sekitaran detasemen saja. Baiklah.
Di ujung blok rumah dinas tepat sebelum gerbang utama, seorang wanita berjalan menuju luar gerbang menenteng keranjang berisi penuh bungkusan nasi. Aku sedang tak sudi melihat wanita ini. Wanita yang awalnya kukagumi atas kegigihannya menjalani hidup, ronanya sudah berubah, bagiku hanya penghancur masa depan.
"Baru jalan, Mbak Mel?" tegur Mbak Tanti pada wanita itu. Mbak Tanti memelankan laju sepeda. "Dek, kamu mau sarapan nasi bungkus?" tawar Mbak Tanti padaku yang sedari tadi melihat ke arah lain.
"Nggak, Mbak, nanti aja di rumah," jawabku hanya menengok ke arah Mbak Tanti.
"Ya udah, Mbak Mel, nanti aja, ya. Mau bawa si Adik keliling dulu," ucap Mbak Tanti. Mbak Amel hanya tersenyum lalu mengangguk.

KAMU SEDANG MEMBACA
SPASI TANPA JEDA
RomansaBerlatar kisah cinta prajurit. Kisahnya nggak gimana-gimana banget. Receh. Seorang wanita yang sengaja ngurus mutasi kerja demi mengejar masa lalunya. Alih-alih bertemu masa lalu malah ketemu orang baru yang lebih bisa membuatnya takut kehilangan. N...