11

28 4 0
                                    

Ada segelincir rasa yang tersembunyi dalam hati, mungkin, ini tentang dia yang sudah pergi. Namun tak bisa kupungkiri, jika rasa ini masih membekas dalam hati. Ingin rasanya aku behenti mengingat, melepas semua rasa yang dulu mengikat. Belajar melupakan segalanya meski rasanya berat. Aku harus paham, masa depan sudah melambai di hadapan begitu erat. Jangan sampai terkungkung lagi pada masa lalu yang menjerat. Aku bisa, aku pasti kuat.

"Masih pagi buta, sudah wangi. Memangnya jam mengajar dimulai jam berapa?" Bang Tama muncul dari ruang tamu. Baru sadar, sejak tadi aku melamun di dapur sendirian, sudah berpakaian seragam lengkap. Haha ... segalau ini, padahal langit saja masih tidur. Kutengok jam tangan, benar, pagi masih buta, menunjukkan pukul 05.30.

"Biar segar aja mandi subuh-subuh," kataku.

"Sini duduk bentar, Abang mau bicara." Bang Tama menarik kursi untuk dirinya dan aku di dapur. Jantungku sudah berlarian dengan nada Bang Tama yang terlewat serius walau masih ada kelembutan. Apa yang mau dia bicarakan?

**

Sekilas kisah tentang Indrayana dari penuturan Tama Yasona yang tadi kudengar ....

Cinta lama itu masih terjaga sempurna. Selalu dan selalu nama Vivian yang dia sebut. Hampir nekat melamar dan menikahi, tapi Bang Tama berusaha menahan agar Bang Indra lebih bersabar, mengingat aku masih menempuh pendidikan di bangku kuliah. Bang Tama minta waktu supaya aku menyelesaikan pendidikan dulu. Di tengah penantian itu sesuatu terjadi, Bang Indra mengalami kecelakaan hebat ketika latihan di satuan, tulang kering kaki terlindas alutsista. Bang Indra terpaksa menjalani perawatan intensif berbulan-bulan, kabar koma yang pernah aku dengar ternyata benar adanya. Walau satuan bertanggung jawab penuh atas biaya perawatan itu, namun kaki Bang Indra tidak bisa tertolong.

Singkat cerita, orang tua Mbak Amel yang notabene bersahabat baik dengan orang tua Bang Indra menawarkan solusi agar Bang Indra bisa berjalan normal. Orang tua Bang Indra mengiyakan itu semua tanpa sepengetahuan Bang Indra. Penyangga kaki buatan luar negeri yang harganya menjulang tinggi diberikan pada Bang Indra. Keluarga Mbak Amel memang cukup berada, semua kebutuhan Bang Indra mengenai penyembuhan tulang kering ditanggung bahkan sampai mendatangkan terapis dari luar negeri.

Tidak disangka, di balik kebaikan orang tua Mbak Amel, segelintir rencana sudah dibentuk. Mbak Amel hamil di luar nikah bersama laki-laki bejat yang dia kenal di bangku sekolah, namun tidak mau bertanggung jawab dan kabur. Karena keluarga Bang Indra tidak bisa membayar apa yang sudah diberikan orang tua Mbak Amel, Bang Indra dipaksa menikahi Mbak Amel. Tidak ada jalan lain selain menuruti perintah orang tua. Bang Indra mengiyakan. Akhirnya mereka menikah.

Pernikahan mereka tidak didasari rasa cinta. Bang Indra memilih tidur di barak dibanding serumah dengan Mbak Amel. Tiga bulan pernikahan, Mbak Amel mengalami keguguran. Dalam rumah tangga itu, tidak sekali pun Bang Indra menyentuh tubuh Mbak Amel. Bersikap dingin dan cuek dengan istrinya sendiri.

Lalu, kenapa Mbak Amel rela menyibukkan diri berjualan, bukankah dia anak dari orang tua berada?

Walau hamil di luar nikah dan memaksa Bang Indra menikahi, Mbak Amel memiliki hati yang lembut. Kebaikan hatinya membuat dirinya sabar dan ikhlas menerima semua perlakuan Bang Indra. Mbak Amel juga tidak ingin melukai hati orang tuanya lagi. Bang Indra memang membagi penghasilannya untuk Mbak Amel, tapi tidak berhenti di situ, Mbak Amel ingin Bang Indra tidak terlalu terbebani. Mbak Amel memilih berjualan nasi bungkus keliling demi membantu mencukupi kebutuhannya tanpa meminta orang tua. Kedua orang tua Mbak Amel tidak tahu menahu apa yang dikerjakan anaknya setiap hari, yang Mbak Amel katakan pada mereka hanya kebahagiaan dan kebahagiaan berumah tangga. Padahal tidak seperti itu adanya.

SPASI TANPA JEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang