1

67 8 3
                                    

"Gimana, SK-mu bener keluar, Vi?" kata suara lelaki dewasa di ujung sambungan telepon.

"Iya, sudah resmi keluar. Minggu depan aku nyusul ke sana, ini sudah pesan tiket. Beri aku tumpangan hidup, ya, Bang? Peelliiisss ... aku janji jadi Adik yang baik di sana. Aku juga sudah menelepon Mbak Tanti, katanya nggak 'papa malah dia senang ada yang ngajak main Dio."

"Tapi kamu harus terima keadaan rumah Abang, namanya juga asrama militer, nggak sebesar rumah Ayah."

"Iya ... iya ... aku terima. Kasih aku kamar yang di depan, ya, pokoknya aku mau tidur di kamar depan."

"Diihhh ... milih! Katanya mau terima apa adanya, sekarang malah milih."

"Hehe ... aku cuma minta kamar kosong, Bang, isi kamarnya aku beli sendiri."

"Terserah kamu, ingat, Abang ini tentara, kalau kamu yakin mau ikut Abang di sini tolong jangan pecicilan. Jaga nama baik Abang sama Mbak Tanti. Ikuti aturan rumah tangga Abang."

"Siiiiaaapp gerak!" kataku lantang.

"Iiihh ... nggak usah teriak gitu juga, pecah telinga Abang."

"Terima kasih, ya, Bang. Mmuuaacchh ... tunggu kedatanganku minggu depan."

**

Hari ini tepat pada khayalanku minggu lalu, aku berpamitan dengan orang tua untuk mengejar impian. Ayah dan Ibu sempat keberatan dengan keputusan ini, namun alasan kuat dari Bang Tama agar aku bisa hidup lebih mandiri membuat Ayah dan Ibu mengiyakan keputusanku. Sebenarnya tidak tega juga meninggalkan orang tua, tapi aku yakin kedua orang tuaku mampu hidup tanpa aku, mengingat pekerjaan Ayah sebagai seorang dokter bisa hidup berkecukupan bersama Ibu.

Hidupku terlalu manja, tepatnya dimanja, kata Bang Tama. Bang Tama adalah kakak kandungku yang kini ada di kota sebelah, dia hidup bahagia dengan wanita pujaannya. Bang Tama memilih profesi sebagai tentara, profesi yang diwanti-wanti Ayah agar tidak dipilih. Bang Tama berani melawan Ayah untuk soal pilihan hidup. Karena merasa dimanja Ayah, akhirnya Bang Tama memilih menjadi tentara agar menjadi satu-satunya alasan hidup merantau.

Aku juga ... memilih jalan menjadi seorang guru. Ayah berkeras hati meminta agar aku menempuh pendidikan kedokteran. Iiyyuhh ... jangankan menjadi dokter, melihat luka sangat kecil di tubuhku sendiri bisa-bisa aku pingsan. Sudahlah, aku dan Bang Tama menemukan jalan masing-masing. Pada akhirnya Ayah dan Ibu paham jika aku memang sudah dewasa dan berhak memilih jalanku sendiri.

Dan tibalah hari ini ....

Taraaaa ....

Satu impian lagi yang akan kukejar. Surat mutasiku resmi terbit. Satu tahun lamanya aku mengurus surat mutasi agar bisa pindah tugas di kota tempat Bang Tama dinas. Satu alasan kuat kenapa aku bersikeras ingin tinggal di kota sebelah ... aku mengejar dia. Sudahlah pokoknya dia.

**

"Itu kamarmu, sesuai permintaan, kamar depan dengan isi masih kosong melompong." Bang Tama menunjukkan kamar yang aku minta.

Aku mengangguk mengerti. Dulu, aku pernah kemari walau hanya beberapa hari. Sedikit banyak aku tahu bagaimana keadaan asrama militer ini.

"Tanteeeee ...." Dio—anak semata wayang Bang Tama—berlari ke arahku. Memeluk tubuhku lalu menciumi pipiku.

"Wiihh ... udah besar sekarang, kelas berapa hayo?"

"Kelas TK besar. Tante mau tinggal sama Dio, 'kan?"

SPASI TANPA JEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang